Pemerintah Optimal Investigasi Kebocoran Data 279 Juta Penduduk
Oleh : Zainudin Zidan )*
Ketika ada data yang bocor, maka masyarakat sempat panik. Kebocoran data penduduk adalah sesuatu yang berbahaya, karena bisa disalahgunakan oleh orang yang tak bertanggungjawab. Pemerintah menginvestigasi kasus ini dengan optimal, agar tak terulang lagi ke depannya.
Data-data milik 279 juta penduduk Indonesia bisa diakses dengan mudah di sebuah situs. Parahnya, situs itu tidak privat alias terbuka untuk publik. Hal ini membuat masyarakat takut datanya akan disalahgunakan oleh orang lain, karena nyaris semua terpampang nyata. Mulai dari nama lengkap, alamat, NIK, dan data-data penting yang lain.
Ketua MPR Bambang Soesatyo mendesak agar Kementrian Komunikasi dan Informatika, Bareskrim Polri, dan Badan Siber dan Sandi Negara untuk mengusut kasus kebocoran data ini. Penyebabnya karena kasus ini bukan persoalan main-main alias sanagt serius. Di era teknologi, data merupakan kekayaan nasional yang patut dijaga.
Bambang melanjutkan, kedaulatan terhadap data turut menunjukkan kedaulatan bangsa. Bahkan Presiden Jokowi menyebut bahwa data merupakan new oil yang lebih berharga daripada minyak. Ketika ada kebooran data, maka tak hanya menyangkut kepentingan ekonomi, tetapi juga keamanan pribadi warga negara.
Data memang sangat berharga, karena bagaikan emas baru di dunia maya. Dalam artian, ketika seseorang mengalami kebocoran data, dan disalahgunakan, maka nyaris tamat riwayatnya. Misalnya saat KTP dan nomor HP-nya bocor karena diretas. Maka bisa disalahgunakan oleh penipu untuk mendapatkan pinjaman dari rentenir, dan pemilik KTP yang harus membayarnya. Padahal ia tak tahu apa-apa.
Contoh lain adalah ketika data seseorang bocor lalu digunakan untuk membuat akun media sosial. Penipu akan membuat status palsu lalu berpura-pura butuh pinjaman uang karena keadaan mendesak. Semua temannya akan iba lalu mentransfer uang atau pulsa, padahal itu semua tidak benar. Pemilik data asli mendapat malu sementara penipu melenggang dengan bebas.
Kebocoran data menunjukkan perangkat hukum cyber security kita belum kuat. Buktinya per november 2020, ada 4.200 laporan kebocoran data, karena di-hack atau sebab yang lain. Pemilik data tentu ketar-ketir karena takut KTP dan lain-lain akan disalahgunakan, dan semoga setelah melapor mereka akan mendapatkan solusinya.
Masih ada dugaan data yang bocor adalah milik para pengguna kartu lembaga. Pemerintah mengadakan penyelidikan lebih lanjut, mengapa di lembaga sebesar itu ternyata sistem IT-nya lemah. Sehingga data para pengguna kartunya bisa diretas dan berpotensi disalahgunakan oleh hacker.
Dari kasus kebocoran data ini kita bisa melakukan evaluasi. Pertama, walau sudah banyak yang melek teknologi, tetap belum semua instansi memiliki keamanan di bidang IT. Bisa jadi karena isinya adalah pegawai-pegawai yang sudah hampir pensiun sehingga kurang familiar dengan teknologi. Solusinya adalah menambah pekerja (walau statusnya pegawai harian) untuk membenahi masalah IT itu.
Kedua, pemerintah perlu menggandeng generasi muda yang lebih pintar dalam bidang IT. Kementrian Riset dan Teknologi memang sudah dilebur dengan Kemendikbud. Namun masalah riset dan teknologi jangan dikesampingkan. Jika perlu ada tim baru yang berisi generasi muda, untuk mengatasi kebocoran data tersebut.
Mengapa generasi muda? Karena mereka lebih cepat belajar dan memang menyukai teknologi terkini. Ambil saja lulusan kampus IT terkenal atau mahasiswa berprestasi, yang bisa menemukan bug dan kelemahan data di banyak instansi penting. Mereka juga bisa diajak untuk berperang melawan hacker nakal pencuri data.
Kasus kebocoran data penduduk Indonesia sangat perlu penindakan lebih lanjut, agar tidak ada penyalahgunaan KTP dan kartu-kartu lain. Pemerintah menyelidiki siapa pelaku sebenarnya, dan yang paling penting adalah mengatasinya. Perlu dibentuk tim IT khusus untuk menyelesaikan kasus ini.
)* Penulis adalah warganet tinggal di Pekanbaru