Polemik Politik

Respon Terhadap Reuni 212 dari Tahun ke Tahun

Oleh : Rindra Oktaviani )*

 

Reuni 212 masih menimbulkan polemik di kalangan tokoh-tokoh negara dan masyarakat umum. Salah satu tokoh yang memberikan pendapatnya terhadap acara yang digelar setiap tahun itu adalah Ketum MUI. Dilansir dari detik.com, Ma’ruf Amin mengkritik reuni 212 dengan mengatakan bahwa kegiatan tersebut bersifat agitasi.

Ma’ruf Amin mengkritik rencana Reuni 212 dan meminta agar acara tersebut tidak dihidupkan lagi. Menurutnya, acara tersebut tidak memperlihatkan materi tausiyah seperti umumnya. Sifatnya lebih ke agitasi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Agitasi memiliki makna hasutan kepada orang banyak (untuk mengadakan huru-hara, pemberontakan, dan sebagainya). agitasi biasanya dilakukan oleh tokoh dan aktivis partai politik.

Ma’ruf menambahkan, reuni 212 akan memunculkan sikap asling curiga. Dia juga mengingatkan bahwa persoalan yang menjadi masalah pada aksi 212 di tahun 2016 lalu sudah selesai. Basuki Tjahja Purnama atau Ahok sudah dipenjara terkait kasus pelecehan agama yang memicu aksi demo 212.

“Masalah yang diusung oleh 212 sudah selesai, karena itu tidak perlu lagi menghidup-hidupi 212, lebih baik acara seperti itu, mengutuhkan umat, bangsa, dan mengajak mempererat persatuan. Itu menurut saya. Itu memunculkan provokasi dan menimbulkan saling mencurigai,” pungkasnya.

 

Reuni 212 Sarat Kepentingan Politik

Gerakan 212 yang dilaksanakan pada 2 Desember 2016 lalu adalah salah satu yang terbesar di Indonesia. Gerakan ini ternyata tidak sebatas hanya 1 hari saja, akan tetapi selalu mengawal jalannya persidangan Ahok ketika itu. Setelah hukuman jatuh pada Ahok, gerakan sempat memudar. Hingga kini, terjadi lagi gerakan yang dinamakan Reuni 212 setiap tahunnya.

Panitia reuni 212 mengklaim bahwa gerakan tersebut adalah persaudaraan umat Islam di Indonesia. Pada sisi lain dianggap ada kepentingan politik di dalamnya. Hal tersebut diamini oleh Prof. Mahfudz MD. Ia mengatakan bahwa setiap kegiatan tidak bisa lepas dari politik. Baik yang ada di dalam, diluar, dan juga yang berkomentar. Sebab, politik adalah kebijakan atau policy. Apa yang dibicarakan oleh masyarakat akan memengaruhi kebijakan di dalam negara.

Sangat sulit untuk tidak menduga bahwa reuni 212 tidak bermuatan politik. Hal ini bisa dilihat dari berbagai hal, seperti dana Rp 4 M yang digelontorkan untuk aksi tersebut.

Dilansir dari Liputan6.com, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian juga menyebutkan bahwa acara reuni 212 bermuatan politik. Menurutnya, jika ada agenda terkait Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019 di balik pelaksanaan acara tersebut.

Terkait dana, Misbahul Anam selaku Ketua Panitia Reuni 212 mengungkapkan bahwa dana berasal dari umat. Dia tidak menampik adanya donatur yang membiayai aksi Reuni 212 tahun 2017 lalu.

“Ada (donatur khusus). Allah SWT,” katanya.

Namun, Misbahul menampik donatur tersebut dari partai politik. Menurutnya, pihak pelaksana tidak pernah memberikan proposal pada partai politik tertentu.

Ketika didesak kembali perihal nominal dana, Misbahul menyebut angka Rp 4 Miliar. Namun, ia tidak mengungkapkan secara pasti dana tersebut dari siapa.

Tidak hanya terkait dana saja, materi pidato dalam acara Reuni 212 tahun 2017 lalu juga sarat akan kepentingan politik. Dalam pidato oleh Ketua Majelis Kehormatan PAN Amien Rais di hadapan peserta reuni 212 menyinggung Presiden Joko Widodo.

“Supaya kita tidak diremehkan, kita berkumpul di sini lillahi ta’ala, tapi ada orang yang pakai kata-kata pesimis ya tidak usah dikatakan,” ucap Amien.

Mantan Ketua MPR itu juga sempat menyinggung kata-kata yang berhubungan dengan Pilpres 2019 yaitu kecebong.

“Para kecebong itu biarkan mendekuk, kucing tetap mengeong, anjing menggonggong, tapi khafilah terus berlalu,” tambahnya.

Ia pun menyampaikan pesan pada Presiden. Ia menganggap jika reuni 212 dilarang, maka Presiden sudah keterlaluan.

“Jadi ke Pak Jokowi, jangan jual negeri ini kepada asing dan aseng,” pungkasnya.

 

Pemuda Muhammadiyah : Apa pentingnya reuni 212?

Melalui Ketua Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzhar Simanjuntak, organisasi otonom dari salah satu organisasi terbesar di Indonesia inipun mempertanyakan urgensi dari reuni 212.

“Kalau dulu aksi 212 kan ada persoalan Ahok. Sekarang apa urgensinya?” kata Dahnil – dilansir dari Tirto.com. (28/11/2017)

Menurutnya, reuni yang akan dihadiri oleh ribuan orang berpotensi membuat gaduh seperti yang terjadi pada tahun 2016 silam. Ditambah fakta Pilkada serentak 2017 yang diselenggarakan di 171 daerah. Acara ini snagat berpotensi ditunggangi oleh pihak berkepentingan dengan politik praktis.

“Harapan saya jangan sampai reuni tersebut dipolitisasi sehingga menciptakan stigma-stigma miring dan bikin gaduh,” imbuhnya.

Dengan alasan itu, Dahnil memastikan bahwa organisasi Pemuda Muhammadiya tidak terlibat dalam reuni 212, seperti juga posisi PP Muhammadiyah selaku organisasi induk.

Hal senada juga dinyatakan oleh Din Syamsudin selaku Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia tidak akan ikut reuni 212 sebab Din memiliki pemahaman tentang permasalahan umat Islam serta pendekatan tersendiri dalam menanggulangi serta dalam beramar ma’ruf nahi munkar.

Menurutnya, izzul Islam wal Muslimin di Indonesia harus dicapai melalui perjuangan yang strategis dalam mengembangkan infrastruktur kebudayaan umat Islam. Diperlukan karya nyata untuk meningkatkan mutu kehidupan umat Islam di berbagai aspek kehidupan.

Perlu adanya langkah yang strategis dengan lebih menekankan praxisme keagamaan ketimbang menampilkan mob-populisme keagamaan. Menurut Din, masalah umat Islam di Indonesia yang paling besar ada pada bidang ekonomi, informasi, dan pendidikan.

Untuk mengatasi masalah tersebut, perjuangan yang paling relevan adalah dengan memperbaiki aspek kebudayaan tadi.

“Oleh karena itu, saya menyarankan untuk mengubah strategi dari al-jihad lil mua’radhah (perjuangan melawan / struggle against) ke al-jihad lil muwajahah (perjuangan menghadapi / struggle for). Inilah yang saya maksud perjuangan umat Islam lebih baik mengambil bentuk orientasi praksisme (karya-kaya kebudayaan) daripada orientasi populisme (kerja-kerja kerumunan),” pungkas Din.

 

Pendapat Masyarakat

Dilansir dari dictio.com terkait diskusi dengan pembahasan tentang “Bagaimana pendapat Anda tentang terlaksananya Reuni Akbar Alumni Aksi 212?” oleh akun bernama Rio Hanafi. Banyak masyarakat yang merasa kegiatan ini tidak perlu dilakukan.

Akun bernama Merry Junaedi menyebutkan bahwa lebih penting bagi masyarakat untuk memperkuat persaudaraan sebangsa setanah air. Tidak perlu membeda-bedakan suku, etnis, ras dan agama tertentu. Sebab, hal yang paling indah adalah kedamaian di negara Indonesia.

Akun lain dengan nickname Tiaraind juga menduga bahwa acara ini ada tunggangan politik di dalamnya. Banyak blunder pemberitaan yang tidak bisa dibantah. Menurutnya, opini publik akan terpecah-pecah dalam mengartikan tujuan dari momen ini.

Acara reuni 212 menimbulkan banyak simpang siur pendapat sehingga berpotensi memecah belah masyarakat. Untuk itu, akan lebih baik jika acara semacam itu diganti dengan yang lebih bermanfaat lagi.

 

*) Penulis adalah Mahasiswi di Sebuah PTN Jakarta

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih