Pemerintah Pastikan Penyesuaian PPN 1% Demi Stabilitas Ekonomi dan Tidak Merugikan Rakyat
Oleh: Paramitha Anjani )*
Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan fiskal yang terukur, salah satunya dengan penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) satu persen mulai 1 Januari 2025. Langkah ini dilakukan dengan mengutamakan prinsip keadilan, keberpihakan, dan gotong royong, memastikan tidak ada pihak yang dirugikan, terutama kelompok masyarakat yang paling rentan.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menjelaskan pajak merupakan salah satu instrumen penting untuk mendorong pembangunan sekaligus menjaga daya beli masyarakat. Dalam penerapannya, pemerintah mengedepankan pendekatan yang selektif dan berkeadilan, memastikan kelompok masyarakat yang kurang mampu terlindungi dari dampak kebijakan tersebut. Barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, telur, susu, jasa pendidikan, serta jasa kesehatan tetap dibebaskan dari PPN, sehingga tidak membebani masyarakat umum.
Sebagai bentuk keberpihakan, pemerintah memberikan berbagai insentif untuk mengurangi dampak kenaikan tarif PPN bagi masyarakat menengah ke bawah. Misalnya, program PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar satu persen untuk barang kebutuhan pokok tertentu seperti tepung terigu, gula industri, dan minyak goreng. Kebijakan ini dirancang untuk memastikan harga barang-barang tersebut tetap terjangkau, bahkan dengan penyesuaian tarif pajak.
Selain itu, pemerintah juga meluncurkan paket perlindungan sosial yang dirancang untuk membantu masyarakat berpendapatan rendah, termasuk pemberian bantuan beras sebanyak 10 kilogram per bulan kepada 16 juta penerima selama awal tahun 2025, serta diskon listrik 50 persen untuk pelanggan dengan daya tertentu. Langkah-langkah ini menunjukkan bagaimana pemerintah tidak hanya menaikkan penerimaan pajak tetapi juga berupaya melindungi masyarakat yang paling membutuhkan.
Penyesuaian tarif PPN ini juga diprioritaskan untuk barang-barang dan jasa yang tergolong mewah, seperti makanan premium, layanan kesehatan VIP, dan pendidikan berstandar internasional. Dengan demikian, kebijakan ini tidak membebani konsumsi barang dan jasa yang bersifat esensial bagi masyarakat luas. Kebijakan tersebut didasarkan pada prinsip bahwa kelompok yang memiliki kemampuan finansial lebih besar harus berkontribusi lebih signifikan melalui pajak, sejalan dengan semangat gotong royong yang menjadi landasan kebijakan ini.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menegaskan pentingnya pemungutan pajak yang adil dan selektif. Ia menjelaskan bahwa pendekatan ini bertujuan untuk memastikan distribusi beban pajak yang seimbang antara kelompok masyarakat.
Pemerintah juga memberikan insentif khusus kepada dunia usaha dan UMKM, termasuk perpanjangan tarif PPh Final 0,5 persen hingga 2025 untuk UMKM tertentu. Langkah ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah sebagai salah satu penggerak utama perekonomian.
Di sisi lain, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, melihat kebijakan ini sebagai langkah strategis untuk memperkuat stabilitas fiskal dan meningkatkan penerimaan negara. Menurutnya, optimalisasi penerimaan dari sektor PPN akan berdampak positif pada kesehatan fiskal pemerintah, yang pada akhirnya akan memperbaiki distribusi ekonomi secara keseluruhan.
Vaudy juga menyoroti bahwa kenaikan tarif PPN dari 11 persen telah sesuai dengan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang dirancang untuk memperkuat fundamental ekonomi nasional.
Kendati demikian, pemerintah tetap berupaya meminimalkan dampak negatif yang mungkin timbul. Salah satu caranya adalah dengan memberikan insentif tambahan bagi sektor tertentu, seperti diskon pajak untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (electric vehicle) dan pajak ditanggung pemerintah untuk kendaraan hybrid. Insentif ini diharapkan dapat mendorong penggunaan teknologi ramah lingkungan sekaligus mempercepat transformasi ke arah ekonomi berkelanjutan.
Pemerintah juga menunjukkan komitmennya dalam mendengarkan berbagai masukan dari masyarakat dan pemangku kepentingan terkait implementasi kebijakan ini. Langkah ini penting untuk memastikan kebijakan perpajakan tetap relevan dan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa menimbulkan beban yang berlebihan bagi masyarakat. Dalam hal ini, penerapan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) oleh Direktorat Jenderal Pajak mulai 2025 menjadi langkah penting untuk meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan dan kepatuhan wajib pajak.
Penyesuaian tarif PPN 1 persen tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga memberikan landasan yang lebih kuat bagi keberlanjutan pembangunan di masa depan. Pemerintah memahami bahwa keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada transparansi, akuntabilitas, dan komunikasi yang efektif dengan masyarakat. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan literasi pajak dan memberikan pemahaman yang komprehensif kepada masyarakat tentang tujuan kebijakan ini terus dilakukan.
Secara keseluruhan, kebijakan ini mencerminkan pendekatan yang hati-hati dan terukur dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan penerimaan negara dan perlindungan masyarakat. Dengan berbagai insentif dan pengecualian yang diberikan, pemerintah berusaha memastikan bahwa penyesuaian tarif PPN tidak membebani rakyat kecil. Sebaliknya, kebijakan ini diharapkan dapat memperkuat perekonomian nasional dan memastikan keberlanjutan pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute