Pemindahan Ibu Kota Negara Membangun Kultur Kerja dan Sistem Baru
Oleh : Zulkarnaen )*
Pemerintah terus mempercepat realisasi pemindahan Ibu Kota Negara ke Pulau Kalimantan. Pemindahan Ibu Kota Negara tersebut diharapkan tidak hanya menciptakan pemerataan kesejahteraan, namun juga membangun kultur kerja dan sistem baru.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah secara resmi mengumumkan lokasi Ibu Kota Negara baru. Melalui rapat terbatas (ratas) pemerintah pada tanggal 29 April 2019 lalu, berdasarkan kajian-kajian yang telah dibuat oleh pemerintah, Jokowi memutuskan untuk memindahkan Ibu Kota Negara ke luar Pulau Jawa, dari DKI Jakarta ke sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara di Provinsi Kalimantan Timur. Upaya pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia sudah dimulai pada tahun 2019 tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Rencana tersebut layak mendapat dukungan dari segenap rakyat Indonesia, karena saat ini, beban di Jakarta dan pulau Jawa dinilai sudah terlalu berat. Masalah lingkungan dan overpopulasi Jakarta, yang menanggung beban sosial, ekonomi dan politik yang cukup besar jika diandingkan dengan daerah lainnya. Hal ini tentu saja mempengaruhi budaya atau kultur kerja dan system pemerintahan yang ada saat ini.
Alasan wilayah di Penajam Paser Utara dan Kutai Kertanegara dijadikan lokasi Ibu Kota Negara yang baru antara lain adalah karena kecilnya risiko bencana alam di wilayah tersebut dan berada di tengah-tengah Indonesia, sehingga diyakini control dan penyelenggaraan system pemerintahan dapat dilaksanakan dengan efektif karena bakal menjangkau seluruh wilayah Republik Indonesia, termasuk wilayah-wilayah yang selama ini jauh dari pantauan Jakarta. Disisi lain, pemerintah juga mengklaim sudah menguasai kira-kira 180 hektare tanah di wilayah tersebut.
Sementara itu, menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di acara Youth Talks pada 20 Agustus 2019, sejumlah alasan mengapa pulau Jawa tak dipilih lagi sebagai lokasi ibu kota baru yakni, penduduk Jawa terlalu padat, kontribusi ekonomi terhadap PDB, dimana Jokowi ingin menghapuskan istilah “Jawasentris” sehingga kontribusi ekonomi di pulau lain juga harus digenjot, krisis ketersediaan air sebagai salah satu concern pemerintah dalam menentukan lokasi ibu kota baru dan konversi lahan di Jawa yang mendominasi, bahkan mencapai lima kali lipat dari Kalimantan.
Desain Ibu Kota Negara oleh Pemerintah melalui Kementerian PUPR diselenggarakan secara terbuka melalui sayembara gagasan desain kawasan Ibu Kota Negara (IKN) tingkat nasional dari bulan Oktober hingga Desember 2019, dimana desain kawasan ibu kota tersebut harus memenuhi 3 (tiga) kriteria umum yaitu, mencerminkan identitas bangsa, menjamin keberlanjutan lingkungan, sosial, dan ekonomi, dan mewujudkan kota yang cerdas, modern, dan berstandar internasional.
Ibu Kota Negara baru, dirancang sedemikian rupa untuk membangun kultur kerja dan system baru yang baik, juga berintegritas dengan ditopang sarana, prasarana yang layak dan lingkungan kerja serta fasilitas-fasilitas yang memadai. Hal ini bakal menunjang pembangunan kultur kerja dan meningkatkan produktivitas ASN serta mengoptimalkan kinerja pemerintah.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo memastikan seluruh ASN tingkat pusat akan dipindahkan ke ibu kota baru pada 2024, seusai pembangunan selesai. Sedangkan Badan Kepegawaian Negara (BKN) memprediksi ada sekitar 600.000 ASN di Kementerian/Lembaga yang akan dipindahtugaskan ke Ibu Kota baru.
Pemindahan Ibu Kota Negara beserta penyelenggaraan pemerintahan, merupakan suatu proses yang membutuhkan visi besar, konsistensi kebijakan, dan kepemimpinan yang kuat serta berani. Masyarakat akan merasakan dampak yang baik serta manfaat-manfat pembangunan kultur kerja yang baik dan sistem baru dengan dipindahkannya Ibu Kota Negara ke Pulau Kalimantan. Karena itu, rencana tersebut layak untuk mendapatkan dukungan penuh dari segenap rakyat Indonesia.
)* Penulis adalah Pemerhati Sosial Ekonomi