Pemindahan Ibukota, Upaya Pemerintah Terhadap Pemerataan Pembangunan
Oleh : Dodik Prasetyo )*
Ibukota Indonesia, DKI Jakarta memiliki luas wilayah 662 Km2, pada tahun 2017 kota metropolitan tersebut disesaki oleh 10,2 juta jiwa pada malam hari dan bertambah menjadi lebih dari 13,2 juta jiwa pada siang hari. Tak ayal bahwa Jakarta berada di peringkat kesembilan di dunia sebagai ibukota terpadat versi World Economic Forum.
Wacana pemindahan Ibukota di Indonesia rupanya menjadi pembahasan yang serius bagi pemerintahan. Presiden Joko Widodo juga telah melaksanakan rapat terbatas untuk membahas wacana tersebut secara lebih intens.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Dr. Slamet Rosyadi menilai bahwa pemindahan ibukota negara ke wilayah lain bisa memberikan dampak pada pemerataan ekonomi.
“Secara umum, itu merupakan ide yang bagus. Selama ini pusat ekonomi kota di Jakarta. Sementara daerah – daerah lain seperti di luar Jawa menjadi kurang berkembang, fasilitas modern sebagian besar ada di Jakarta,” tuturnya.
Slamet juga mencontohkan, pemisahan kota dagang dan industri dengan ibukota negara akan membawa dampak yang positif.
Seperti Australia. Dimana Canberra sebagai ibukota negara, bukan merupakan kota dagang atau industri. Dari awal Canberra merupakan pusat administras pemerintahan. Hal tersebut dimaksudkan supaya warga yang membutuhkan layanan administrasi akan mengalami kemudahan. Tidak perlu bersusah payah karena kemacetan.
Selain itu, ia juga menuturkan bahwa pemindahan Ibukota negara juga bisa mempengaruhi arus dagang dan ekonomi secara nasional.
“Jika Jakarta mengalami bencana, busa jadi akan mengganggu arus perdagangan dan ekonomi nasional,” tuturnya.
Sementara itu, pemindahan Ibukota juga dinilai sebagai upaya menghindari konflik. Turro Wongkaren selaku Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI menyatakan, dari sisi demografi, Kalimantan Timur memilki indeks pertumbuhan manusia yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, bahkan dengan daerah lain di Indonesia.
Selain itu, suku yang ada di Kalimantan Timur lebih kaya dibandingkan dengan provinsi lain yang menjadi kandidat Ibukota baru.
“Kalau kita lihat secara proporsi tiga besar suku yang ada di Kalimantan Timur itu Suku Banjar, Jawa dan Bugis. Sementara di Kalimantan Tengah mayoritas adalah suku Dayak dengan berbagai kelompoknya,” tuturnya.
Dengan proporsi demikian, Kalimantan Timur dinilai lebih minim potensi konflik horizontal dibandingkan dengan Kalimantan Tengah. Apalagi, konflik identitas pernah terjadi di Kalimantan Tengah beberapa tahun yang lalu,
Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro mengungkapkan estimasi biaya yang diperlukan untuk pembangunan ibu kota baru seluas 40.000 hektare di luar Pulau Jawa membutuhkan anggaran sekitar Rp 466 triliun.
Bambang juga menuturkan, pulau Jawa masih terlalu dominan untuk perekonomian Indonesia. Pemindahan ibukota juga dilakukan untuk mengubah mindset dari jawasentris menjadi Indonesiasentris.
Selain itu ia juga mengatakan bahwa alasan rasional pemindahan ibukota ini adalah demi pemerataan ekonomi.
“Pulau Jawa menanggung hampir 50 persen ekonomi Indonesia.” tutur bambang
Sementara itu, pemerintah telah memilih untuk membangun Ibukota baru pemerintahan di luar Pulau Jawa mengingat beban di DKI Jakarta yang semakin bertambah.
Nantinya Ibukota baru akan dicanangkan dapat merepresentasikan identitas bangsa, meningkatkan pengelolaan pemerintahan yang efektif dan efisien serta menerapkan ibukota yang smart, green and beautiful city.
Dengan ini tentu mimpi Presiden Soekarno yang tak pernah terwujud ini, mulai mencuat lagi saat pemerintahan Presiden Jokowi.
Pada kesempatan Rapat Terbatas (Ratas) di Kantor Kepresidenan, Jokowi mengaku optimis pemindahan Ibu Kota dapat terwujud jika dipersiapkan dengan matang.
Wacana pemindahan Ibukota muncul juga didasari oleh beban Pulau Jawa saat ini yang sudah tidak sanggup lagi menanggung beban dan padatnya penduduk. Pada 2017, jumlah populasi di Pulau Jawa mewakili 60 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Penduduk sebanyak itu tentu membutuhkan air bersih dan ketersediaan pangan yang besar, sementara daerah konservasi, lahan pertanian dan kawasan hutan semakin berkurang.
Pakar Sosiologi Perkotaan Universitas Indonesia (UI) Paulu Wirutomo berpendapat, jika sebuah kota sudah mendekati titik – titik kepadatan yang sudah sangat membahayakan hidup orang sebaiknya dicari jalan penyebaran agar sebuah kota dapat kembali berkembang. Strategi penyebaran penduduk yang paling efektif menurutnya yaitu dengan pemindahan ibu kota.
)* Penulis adalah pegiat sosial di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)