Pemuda, Radikalisme, dan Kesadaran Bela Negara
Oleh : Yusuf Efendi (Mahasiswa Ilmu Sosial dan Politik UIN Jakarta)
Pemuda adalah tulang punggung negara. Kalimat itu nyaris menjadi klise lantaran selalu diulang-ulang sebagai sebuah retorika. Saking vitalnya peran pemuda, Sukarno pun dalam pidatonya pernah berseru “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia”. Kalimat itu menjadi semacam harapan bagi kaum muda agar mampu menjalankan perannya sebagai agen transformasi sosial.
Namun, idealisme semacam itu tampaknya tidak selalu terwujud pada realitas. Kenyatannya gambaran pemuda sebagai tulang punggung bangsa dan agen perubahan sosial itu tidak selalu benar. Dalam kehidupan nyata, tidak sedikit kaum muda yang justru menjadi beban bagi bangsa dan negara. Banyak dari mereka terjebak dalam pergaulan bebas, menjadi pecandu narkoba, bahkan terafiliasi dengan gerakan radikal keagamaan. Kondisi yang sudah tentu mengundang keprihatinan bersama.
Ihwal penyebaran paham radikal keagamaan ini tentu bukan berita baru dan juga bukan sekadar asumsi. Berbagai survei dan penelitian membuktikan bahwa infiltrasi paham radikal keagamaan di kalangan remaja dan anak muda sudah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Survei dari Alvara Insititue di tahun 2018, menyebutkan bahwa dari 2. 500 responden yang diteliti, 54 persen di antaranya setuju pada gagasan Khilafah Islamiyyah. Sedangkan 45 persen menganggap ideologi Pancasila dan NKRI serta UUD 1945 tidak lagi relevan diterapkan di Indonesia.
Tidak ada kata terlambat untuk menyelamatkan anak muda dari serbuan ideologi radikal keagamaan yang disebarkan oleh organisasi keislaman transnasional. Bagaimanapun, bangsa dan negara ini membutuhkan keberadaan anak muda sebagai penerima tongkat estafet perjalanan bangsa. Jangan sampai bangsa ini kehilangan satu generasi penerus yang tentunya mengganggu proses regenerasi kepemimpinan bangsa.
Oleh karena itu, kita (masyarakat dan pemerintah) perlu menumbuhkan kembali kesadaran partisipatoris bela negara di kalangan generasi muda. Kesadaran partisipatoris, dalam leksikon ilmu sosial, dipahami sebagai sebuah sikap dan perilaku yang mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk terlibat aktif dalam dinamika sosial politik. Dalam konteks bela negara, kesadaran partisipatoris dimaknai sebagai sebuah sikap kesukarelaan untuk berpartisipasi secara aktif dalam mewujudkan dan menjaga keamanan negara sekaligus dalam lingkup luas berkomitmen untuk setiap saat membela negara.
Kesadaran partisipatoris bela negara di kalangan anak muda ini tentu bukan paksaan dari negara yang bersifat hirarkis satu arah, melainkan hasil dari pertemuan antara kepentingan negara di satu sisi dengan komitmen kebangsaan di sisi lain. Dalam kalimat lain, kesadaran partisipatoris bela negara ialah sikap alamiah yang muncul begitu saja karena rasa cinta dan bangga menjadi bagian dari Indonesia.
Hal pertama dan utama tertanamnya kesadaran itu tentunya berawal dari keluarga. Mungkin sebagian orang bosan dengan kata-kata ini, tapi sampai kapanpun, keluarga tetap nomor satu dalam membentuk kepribadian seseorang. Membentuk paradigma baik dengan tujuan pengembangan yang baik ke depannya. Finalnya, cinta tanah air.
Dengan membangun kesadaran partisipatoris bela negara, diharapkan akan lahir generasi muda yang memiliki jiwa kepemimpinan yang nasionalis dan siap menginisiasi transformasi sosial dalam melawan paham pengkhianat negara.