Penebar Hoax Ijazah Palsu Jokowi Akhirnya Ditangkap
Oleh : Rizky Mahardika*
Bareskrim Polri telah berhasil membekuk penyebar berita bohong atau hoax terkait isu ijazah palsu Presiden Jokowi. Penangkapan itu dilakukan di Kampung Mede, Bekasi Timur pada 19 Januari 2019 lalu. Penyebar hoax tersebut mengunggah berita bohong terkait dokumen ijazah Jokowi dalam akun facebooknya atas nama Umar Khalid. Adapun barang bukti yang disita polisi yaitu 1 buah handphone, 2 sim card, 1 akun facebook bernama Umar Kholid, dan 1 email yang beralamat [email protected]. Dirinya kemudian diperiksa Dittipidsiber dan melakukan pemeriksaan digital forensik terhadap barang bukti.
Pihak Kepolisian tidak menahan tersangka penyebar berita bohong terkait ijazah palsu Presiden Jokowi, namun Umar Kholid dikenai wajib lapor dua kali dalam sepekan, yaitu pada hari Senin dan Kamis kepada penyidik. Dirinya tidak ditahan karena ancaman hukuman di bawah 5 tahun. Ia dijerat dengan pasal 14 ayat 2, Pasal 15 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1946, dan/atau pasal 207 KUHP.
Motif Umar Kholid dalam mengunggah ijazah palsu Jokowi di akun facebook miliknya yaitu bersifat pertanyaan tapi terdapat narasi yang menyebutkan bahwa ijazah tersebut palsu. Diketahui, terdapat informasi yang beredar di dunia maya ihwal ijazah SMA Jokowi dituding palsu karena terdapat cap SMA Negeri 6 Solo dengan tahun kelulusan 1980. Kemudian muncul kabar yang menyebutkan SMAN 6 Solo tempat Jokowi bersekolah baru berdiri pada tahun 1986.
Menyikapi hal tersebut, Kepala SMA Negeri 6 Solo, Agung Wijayanto menjelaskan bahwa ijazah Jokowi merupakan ijazah asli. Jokowi merupakan lulusan dari SMA Negeri 6 Solo. Pada mulanya SMA Negeri 6 Solo merupakan Sekolah Menengah Pembangunan Persiapan (SMPP). SMPP tersebut berdiri pada 26 November 1975. Selain di Solo pendirian SMPP ini juga dilakukan di beberapa daerah lain, seperti di Purwodadi dan juga Wonosobo.
Hal ini sesuai dengan surat dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 025.b/0/1975 tentang pembukaan beberapa SMPP di Jawa Tengah. Sedangkan untuk SMPP di Solo baru menerima peserta didik pada tahun 1976. Mengingat sejak didirikan sekolah tersebut perlu dilakukan penataan dan persiapan untuk penerimaan peserta didik pertama. Sedangkan Jokowi merupakan siswa angkatan pertama SMPP berdiri. Untuk kurikulum yang diajarkan di SMPP juga sama dengan SMA, mengingat pengajarnya dulu juga dari SMA Negeri 5 Solo.
Untuk pendaftaran sendiri masih menjadi satu dengan SMA Negeri 5. Kemudian jumlah siswa dibagi menjadi dua sekolah sesuai dengan urutan kelasnya. Untuk kelas 1.1 sampai 1.5 masuk ke SMA Negeri 5. Sedangkan siswa dari kelompok selanjutnya masuk di SMPP dan Jokowi tercatat sebagai siswa dari kelompok kelas 1.9. sehingga Jokowi pun masuk di SMPP dari data yang ada. Jokowi lulus pada tahun 1980. Kemudian pada 1985, SMPP berubah menjadi SMA Negeri 6 Solo.
Hal ini sebagaimana surat dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 353 / 0 / 1985 tentang perubahan nama sekolah dari SMPP menjadi Sekolah Menengah Utama Tingkat Atas atau SMA. Sehingga merupakan sesuatu yang wajar apabila ijazah Jokowi tidak berbunyi lulusan SMA Negeri 6. Melainkan lulusan SMA yang sekarang ini telah berubah menjadi SMA Negeri 6.
Tentu tidak sedikit kabar miring dan isu gorengan yang ditujukan kepada pasangan Capres – Cawapres nomor urut 01 yang bertujuan untuk menggulingkan elektabilitasnya menjelang Pemilu April 2019 mendatang. Anehnya isu tersebut hanya berakhir lelucon semata karena hal tersebut sangat mudah untuk dibantah, sama halnya dengan isu Jokowi berasal dari etnis China, isu Jokowi PKI, dan lainnya.
Jika kita cermati, isu tersebut hanyalah trik tipuan dari oposisi politik untuk memenuhi syahwat politik semata. Menyebarkan berita bohong dan isu palsu memang menjadi gorengan andalan mereka untuk dapat mengantarkan junjungannya menuju kursi RI 1. Hal tersebut terpaksa dilakukan karena mereka tak mampu menonjolkan prestasinya pada publik. Penangkapan terhadap Umar kholid tentu diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku penyebar hoax sehingga tak ada lagi penyebar hoax yang dapat memperkeruh suasana demokrasi di Indonesia.
Presiden Jokowi juga pernah memberikan instruksi kepada Kapolri Tito Karnavian untuk memburu penyebar kabar bohong, hal ini dikarenakan kabar bohong atau hoax yang beredar di dunia maya berpotensi mengganggu keamanan dan stabilitas nasional. Pelaku penyebar hoax dapat diancam dengan pasal 28 ayat 1 Undang – Undang Indivasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal tersebut menyebutkan, bahwa setiap orang yang sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong atau sesat, maka dapat dikenai ancaman pidana maksimal 6 tahun kurungan dan denda maksimal Rp 1 Milyar.
Polisi masa kini telah mampu melacak pembuat berita hoax yang telah meninggalkan jejak di dunia internet. Karena itu kita harus hati – hati dalam menuliskan status, membuat konten atau dalam menyebarkan pesan berantai baik melalui media sosial maupun aplikasi yang lain. Sebab, meskipun hanya meneruskan saja, hal ini juga bisa menyeret seseorang ke dalam jeruji penjara, hal ini lantaran sang penerus pesan telah melanggar UU ITE.
Masyarakat juga perlu berhati – hati dan waspada terhadap beredarnya hoax di internet terutama di media sosial. Apalagi semakin banyak kabar yang disebar di media sosial justru dapat mengumbar kebencian. Tentu kita harus menjaga jempol kita agar aktivitas berinternet tidak membawa kita ke meja hijau. Hal ini dikarenakan ancamannya yang tidak main – main, pelaku penyebar berita bohong dapat dipenjara atau dengan paling banyak Rp 1 Miliar. Bijaklah menggunakan media sosial dan smartphone-mu.
*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Pancasakti Tegal