Penerapan Hukum Positif Wujudkan Kemajuan dan Kesejahteraan Papua
Oleh : Yowar Matulessy )*
Penerapan hukum positif ternyata mampu mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Papua tanpa terkecuali serta mendatangkan prinsip keadilan yang sangat merata di sana. Selama ini, Pemerintah terus berupaya menggencarkan berbagai macam hal untuk semakin mendorong terwujudnya kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat Papua.
Salah satu langkah yang akan semakin mendorong terwujudnya kemajuan dan kesejahteraan Papua, adalah dengan adanya penerapan hukum positif karena dampak konsekuensinya juga jauh lebih jelas sehingga akan semakin meminimalisasi kemungkinan terjadinya pelanggaran yang mengakibatkan ketidakstabilan keamanan.
Sekretaris Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Papua, yang juga pernah menjabat sebagai Dewan Adat Papua, George Weyasu mendorong agar apabila terjadi sebuah konflik maka hendaknya upaya penyelesaian yang terjadi dengan menggunakan hukum positif dan bukannya hukum adat.
Bukan tanpa alasan, pasalnya penyelesaian secara adat ternyata sama sekali tidak efektif untuk menghentikan masalah. Sebab, nyatanya terdapat upaya untuk menyelesaikan sebuah konflik namun dengan pendekatan hukum adat, akan tetapi ternyata justru konflik tersebut terus berulang dan tidak kian berakhir.
Justru korban terus saja bermunculan akibat konflik tadi. Oleh karenanya untuk bisa benar-benar menegakkan hukum dan keadilan, maka hukum positif merupakan jawabannya, supaya terjadi penindakan dan ada efek jera hingga tidak terjadi lagi konflik serupa.
Senada, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Papua, Yosephine Wandosa juga menilai bahwa pelaksanaan hukum adat dengan membayar denda nyatanya justru seringkali tidak memberikan rasa keadilan terhadap korban.
Jika terjadi sebuah kasus kekerasan, apalagi misalnya hal tersebut menjadikan korban berasal dari kalangan perempuan ataupun anak-anak di Papua, maka biasanya penyelesaian yang terjadi adalah dengan menggunakan hukum adat dengan cara membayar ganti rugi kepada pihak korban.
Padahal, sejatinya sudah sangat jelas apabila dari kacamata hukum positif, hal tersebut sama sekali tidak menggugurkan tindak kriminal yang pelaku lakukan. Apabila masih saja terdapat pihak yang beranggapan bahwa jika pelaku sudah membayar denda hukum adat kepada pihak korban, maka kasus kekerasan atau apapun yang mereka lakukan tidak bisa lanjut secara hukum pidana jelas salah.
Dengan masih adanya upaya penyelesaian sebuah kasus kekerasan namun mengutamakan denda adat, ternyata hal tersebut sama sekali tidak membuat dan mendatangkan efek jera kepada pihak pelaku.
Nyatanya, kasus demikian masih saja kerap kali terjadi di wilayah berjuluk Bumi Cenderawasih itu karena memang pada prinsipnya seolah para pelaku menganggap bahwa jika mereka sudah membayarkan denda adat atas kasus yang mereka lakukan, maka tindakan hukum akan berhenti dan tidak berlanjut.
Untuk itu, hendaknya lembaga penegak hukum harus jauh lebih berani dalam memproses para pelaku tindak pidana dalam bentuk apapun, khususnya jika kasus tersebut berkaitan dengan perempuan dan anak.
Supaya dapat memberikan kepercayaan diri kepada korban yang bersangkutan untuk menatap kehidupan menjadi jauh lebih baik lagi. Seharusnya meski pihak pelaku sudah membayarkan denda kepada korban, namun bukan berarti kasus pidananya hilang atau berhenti.
Dengan cara hukum adat berupa denda itu, maka perempuan atau anak-anak yang menjadi korban kekerasan dalam bentuk apapun seolah sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa jika pihak pelaku sudah membayarkan denda adat, maka kasus penanganan hukum bisa berhenti begitu saja.
Kenyataan yang terkesan sangat menganggap remeh dan enteng hukum itu nyatanya memang masih terus ada di Tanah Papua. Sebenarnya, dampak atau konsekuensi dari penerapan hukum adat berupa denda, bukan hanya tidak akan mendatangkan efek jera dan menganggap remeh hukum positif saja.
Namun, terdapat dampak besar lain yang justru akan dirasakan seluruh masyarakat Papua, yakni terhambatnya kemajuan dan kesejahteraan masyarakat setempat. Bagaimana tidak, pasalnya, biasanya denda itu mereka ambil dari dana desa, yang sebenarnya merupakan uang untuk keperluan membangun dan menyejahterakan masyarakat.
Alih-alih untuk memajukan dan menyejahterakan, justru dana desa yang Pemerintah berikan, malah kerap menjadi upaya untuk membayarkan denda karena penerapan hukum adat sehingga upaya pengembangan Papua pun menjadi sangat terhambat.
Di sisi lain, Asisten I Bidang Pemerintahan Umum Sekretaris Daerah (Setda) Kabupaten Jayapura, Elphina Situmorang mengatakan bahwa alokasi dana desa (ADD) atau dana kampung sebenarnya cukup besar sehingga setiap program dan kegiatan hendaknya harus mengalami monitoring oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kampung.
Pihak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jayapura juga mengharapkan seluruh kepala kampung hingga kepala kampung adat mampu secara bijak mengelola anggaran Dana Desa 2024, yang mana nilainya hingga sebesar Rp 120 miliar.
Maka dari itu, sebenarnya penerapan hukum positif merupakan sesuatu yang mampu mewujudkan kemajuan dan juga kesejahteraan bagi seluruh rakyat Papua tanpa terkecuali, termasuk juga menghadirkan keadilan. Karena apabila hukum adat terus berlangsung dengan cara penerapan sistem denda, hal itu hanya akan semakin memakan dana desa yang sejatinya berguna untuk memajukan Tanah Papua, sehingga upaya pengembangan menjadi terhambat.
)* Penulis adalah Mahasiswa Papua tinggal di Manado