Pengamat dan Tokoh: Putusan MK Melanggar Aturan dan Merendahkan Nilai-Nilai Demokrasi
JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menetapkan Pasal 169 huruf q Undang-Undang No. 07 Tahun 2017 tentang Pemilu serta mengabulkan syarat capres dan cawapres berusia paling rendah 40 tahun atau telah pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah, Keputusan ini dianggap merendahkan nilai-nilai demokrasi dan berpotensi mempengaruhi pandangan publik terhadap marwah positif MK dan pemerintah.
Guna membahas masalah tersebut, Moya Institute menggelar webinar nasional yang menghadirkan sejumlah pengamat dan tokoh nasional. Acara webinar tersebut dilaksanakan pada Selasa (17/10), dengan mengangkat tema “MK: Benteng Konstitusi?”.
Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi, saat menyampaikan materinya mengatakan sejak awal sudah mengingatkan bahwa pilihan MK melakukan sidang dengan memeriksa praktik perkara, bukan langkah tepat dari konsistensi dengan tugas MK. Karena MK hanya boleh melanjutkan persidangan jika yang diperiksa adalah mengandung isu konstitusional, sementara soal usia calon pejabat sejak lama dikategorikan bukan isu konstitusional.
“Semestinya sejak sidang pembukaan, MK sudah bisa memutuskan bahwa uji materiil batas usia minimal capres dan cawapres bukanlah isu konstitusional dan bukan urusan MK. Seharusnya didesain untuk menyaring perkara mana yang masuk dalam kewenangan MK dan menegaskan ada tidaknya isu konstitusional di dalam sebuah norma,” kata Hendardi.
Sementara itu, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof DR. Abdul Mu’ti, berpendapat bahwa Keputusan MK sepertinya sudah ada skenario besar yang pada akhirnya gugatan untuk perubahan itu tidak akan dikabulkan tetapi akan diambil ‘jalan tengah’, yang penting dia punya pengalaman memimpin, itu sudah bisa diduga sejak lama.
“Keputusan MK itu sangat begitu kasat mata dan jika menggunakan skenario yang akan bisa ditebak. Jadi secara personal saya tidak begitu kaget,” jelas Abdul Mu’ti.
Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif SMRC, DR. Sirojudin Abbas, bahwa putusan MK ini menjadi kunci pembuka pintu perangkap anti reformasi, dan perangkap ini sebetulnya sudah bisa dibaca. Yang membuat khawatir adalah presiden sendiri terlihat terlalu membuka diri terhadap perangkap itu dengan menyatakan beliau ikut cawe-cawe di dalam Pilpres.
“Saat ini beliau belum masuk ke dalam perangkap, tetapi menurut saya ini justru perdebatan yang harus kita eksplorasi lebih jauh ke publik adalah misalnya apakah presiden akan benar-benar masuk ke dalam perangkap tersebut dan membiarkan Gibran maju sebagai Cawapres mendampingi Prabowo,” ujar Sirojudin.
Pemateri lainnya adalah Pemerhati Isu-Isu Strategis dan Global, Prof. Imron Cotan mengatakan keputusan MK melebihi apa yang diminta, sehingga menimbulkan kerancuan dan pertanyaan besar di kalangan masyarakat. MK juga sudah melampaui kewenangannya karena sudah mengambil alih fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPR dan Presiden sebagai pembuat UU.
“Karena sebenarnya ketika diajukan, perkara ini sudah bisa ditolak karena sebagai penentuan persyaratan suatu jabatan itu adalah domain dari open legal policy, dan itu domain dari DPR dan Presiden,” pungkas Imron. [*]