Penguatan Literasi Digital sebagai Upaya Pencegahan Radikalisme di Media Sosial
Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern kita. Setiap harinya, jutaan orang menghabiskan waktu mereka di platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan lain sebagainya. Namun, di balik keterhubungan yang tak terelakkan ini, terdapat tantangan besar yang muncul, terutama terkait dengan penyebaran radikalisme dan informasi yang salah.
Peningkatan kewaspadaan dan literasi digital menjadi kunci dalam memerangi radikalisme di media sosial. Ketika masyarakat memiliki pemahaman yang baik tentang cara memilah informasi yang sahih dari yang tidak, serta memahami konsekuensi dari menyebarkan informasi palsu atau berita yang tidak diverifikasi, mereka akan menjadi lebih terlindungi dari penyebaran ide-ide radikal yang berpotensi merusak.
Salah satu aspek penting dari literasi digital adalah kemampuan untuk mengenali dan memahami sumber informasi. Dengan semakin berkembangnya fenomena “hoax” dan berita palsu di media sosial, masyarakat harus dilengkapi dengan keterampilan untuk memverifikasi kebenaran sebuah informasi sebelum menyebarkannya lebih jauh.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Komisi I DPR-RI telah mengambil langkah proaktif dalam menghadapi masalah ini. Mereka terus mendorong program-program peningkatan kewaspadaan dan literasi digital untuk meningkatkan pemahaman dan wawasan masyarakat tentang pentingnya penggunaan media sosial yang bertanggung jawab.
Kominfo bersama Komisi I DPR-RI mengimbau masyarakat Indonesia untuk lebih bijak dan berhati-hati dalam menggunakan media sosial (medsos). Hal ini ditegaskan dalam acara literasi digital bertema “Tangkal Radikalisme di Media Digital” yang berlangsung di Banda Aceh pada 23 Januari 2024 lalu.
Wakil Ketua Komisi I DPR-RI, H. Teuku Riefky Harsya, menyatakan bahwa medsos bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, medsos bermanfaat untuk memperluas wawasan, meningkatkan kreativitas, dan mempererat silaturahmi. Di sisi lain, medsos dapat menjadi media penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan radikalisme, yang berakibat pada pelanggaran UU ITE.
Oleh karena itu, masyarakat perlu memahami aturan hukum terkait penggunaan medsos, seperti UU ITE. Riefky mengingatkan agar masyarakat berhati-hati dan bijak dalam menggunakan medsos, serta tidak mudah terprovokasi oleh konten negatif.
Manusia berkualitas dengan literasi digital tinggi adalah salah satu kunci sukses transformasi digital di negeri ini. Generasi yang handal, cakap, dan bijaklah yang akan menjadi ujung tombak mewujudkan Indonesia dan Aceh mampu bersaing di kancah global.
Dirjen Aptika Kemkominfo RI, Semuel Abrijani Pangerapan, menambahkan bahwa perkembangan teknologi terbaru telah mengubah cara hidup masyarakat. Hal ini mendorong Kemkominfo untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan kecakapan digital masyarakat melalui berbagai program aplikasi digital.
Tidak hanya itu, penting juga untuk membantu masyarakat memahami bagaimana radikalisme dapat berkembang di media sosial. Dengan memahami pola-pola yang digunakan oleh kelompok radikal untuk merekrut anggota baru atau menyebarkan propaganda mereka, masyarakat akan menjadi lebih waspada terhadap upaya-upaya tersebut dan lebih mampu untuk menolaknya.
Kelompok-kelompok radikal telah lama menggunakan beragam strategi untuk merekrut anggota baru dan menyebarkan propaganda mereka. Dengan perkembangan teknologi dan media sosial, pola-pola yang digunakan oleh kelompok-kelompok ini semakin berkembang dan meluas.
Kelompok radikal memanfaatkan media sosial dan teknologi untuk menyebarkan pesan-pesan mereka kepada khalayak yang lebih luas. Mereka menggunakan platform seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Telegram untuk mempromosikan ideologi mereka, merekrut anggota baru, dan memperluas jaringan mereka. Pemanfaatan teknologi juga memungkinkan kelompok-kelompok ini untuk berkomunikasi dengan anggota-anggota potensial secara anonim, yang memudahkan proses rekrutmen tanpa terdeteksi.
Selanjutnya, kelompok-kelompok radikal sering menyalahgunakan agama atau ideologi untuk membenarkan tindakan mereka dan memperoleh dukungan. Mereka menginterpretasikan teks-teks keagamaan atau ideologis secara selektif untuk mendukung agenda mereka sendiri, sering kali dengan menghilangkan konteks historis atau kultural yang penting. Dengan melakukan hal ini, mereka mencoba meyakinkan anggota baru bahwa tindakan-tindakan radikal mereka adalah bagian dari “perjuangan suci” yang diperintahkan oleh agama atau ideologi mereka.
Selain upaya dari pemerintah dan lembaga legislatif seperti Komisi I DPR-RI, pendidikan juga memegang peran penting dalam meningkatkan literasi digital masyarakat. Sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya harus memasukkan pelajaran-pelajaran tentang penggunaan media sosial yang bertanggung jawab ke dalam kurikulum mereka. Hal ini akan membantu menciptakan generasi yang lebih cerdas dan terampil dalam memanfaatkan teknologi informasi dengan bijaksana.
Pencegahan radikalisme di media sosial bukanlah tugas yang mudah, tetapi dengan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga legislatif, dan lembaga pendidikan, serta dukungan penuh dari masyarakat itu sendiri, kita dapat membangun lingkungan digital yang lebih aman dan beradab.
Literasi digital menjadi upaya penting untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang siap menghadapi peluang dan budaya digital di tahun 2024. Inisiatif yang didorong oleh pemerintah dalam mencegah berkembangnya radikalisme diharapkan dapat membantu meningkatkan kemampuan cegah dini masyarakat.
Dengan kesadaran yang lebih baik dan tindakan preventif yang tepat, kita dapat melindungi diri dan orang-orang di sekitar kita dari pengaruh ideologi radikal yang banyak tersebar di dunia maya. Mari bersama-sama menjaga ranah media sosial sebagai wadah yang positif untuk berbagi informasi dan memperkuat jaringan sosial, bukan sebagai sarana untuk menyebarluaskan kebencian dan radikalisme.