Pentingnya Menangkal Hoax Demi Terciptanya Pemilu 2024 Damai
Oleh: Puteri Manulang*
Pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2024 dipastikan akan banyak informasi hoax yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia, terutama melalui media sosial. Media sosial merupakan salah satu cara untuk menyebarkan berbagai macam informasi, benar atau salah, bohong maupun jujur. Berita hoax menjadi penyebaran informasi yang harus diantisipasi maupun dihindari oleh masyarakat. Sebab, dampaknya dapat mengakibatkan perpecahan antar masyarakat di negara Indonesia.
Penggunaan media sosial tentu saja harus digunakan secara bijak, mengingat aplikasi tersebut sangat mudah diakses oleh setiap pengguna gadget. Salah satu berita hoax yang paling kerap muncul adalah hoax yang berkaitan dengan persiapan pemilu, mengingat pemilu adalah hajat besar nasional yang melibatkan seluruh masyarakat yang telah terdaftar sebagai pemilih.
Pada saat pemilu tahun 2019 Kementerian komunikasi dan informatika berhasil menulusuri berita hoaks pemilu berjumlah 3.356 hoaks.tentunya data yang dikeluarkan oleh Kominfo RI menjadi acuan untuk mengantisipasi penyebaran Hoax menjelang pemilu 2024 guna untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak di inginkan
Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam hal ini terus mengampanyekan Pemilu Damai 2024. Dalam mengomunikasikan dan membangun narasi itu, Menkominfo Budi Arie Setiadi menyatakan telah membentuk Satuan Tugas Anti Hoaks.
Menteri Budi Arie menjelaskan arahan kepada Satgas Anti Hoaks agar setiap informasi keliru baik berkategori hoaks, disinformasi, maupun misinformasi semuanya dilabeli stempel hoaks.
Menkominfo menegaskan kenetralan institusi Kementerian Kominfo dalam menindak pelaku penyebaran hoaks sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurutnya, hal itu sejalan dengan peran strategis Kementerian Kominfo dalam menjaga ruang digital selama Pemilu 2024 berlangsung.
Kominfo melakukan beberapa langkah penanganan baik mulai dari tingkat hulu hingga hilir.
Pada tingkat hulu, Kominfo melakukan peningkatan literasi dan kecakapan digital masyarakat dalam respon hoaks melalui kampanye edukasi dan sosialisasi anti hoaks oleh gerakan nasional literasi digital.
Pada tingkat menengah, Kominfo melakukan penerbitan klarifikasi hoaks atau debunking bersama platform digital. Sementara pada tingkat hilir, Kominfo memberikan dukungan data kepada Bareskrim Polri untuk melakukan upaya penegakan hukum terhadap pembuat dan penyebaran hoaks terkait pemilu.
Hoaks bukan saja akan menimbulkan kegaduhan semata, melainkan juga menaikkan suhu politik hingga terjadinya fragmentasi politik. Publik juga harus memahami bahwa berita bohong atau hoaks, serta kampanye hitam ini bertujuan untuk menyerang lawan politik.
Anggota Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin juga meminta ada perhatian khusus pada potensi penyebaran hoaks di media sosial pada perhelatan Pemilu 2024
Hal tersebut diperlukan untuk menertibkan dan menindak pembuat berita hoaks dan kampanye hitam yang selalu melanggar etika dan ketertiban yang menyulut keributan dalam Pemilu. Aparat penegak hukum dalam hal ini memiliki peran sangat penting dalam proses tersebut, khususnya dalam menangani beredarnya berita hoaks dan sebagainya
Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) merilis Indeks Kerawanan Pemilu 2024 dengan isu strategis kampanye di media sosial. Peluncuran indeks kerawanan kampanye melalui media sosial ini dilakukan sebagai bentuk mitigasi dan deteksi dini potensi kerawanan pada penyelenggaraan pemilu mendatang.
Hasilnya, Indeks Kerawanan Pemilu 2024 menunjukkan kampanye melalui media sosial yang bermuatan ujaran kebencian di tingkat provinsi mendominasi hingga 50%. Persentase tersebut disusul dengan kampanye mengandung hoaks atau berita bohong (30%) dan kampanye terkait isu suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA (20%).
Sementara itu, untuk tingkat kabupaten/kota, kampanye bermuatan hoaks atau berita bohong menjadi indikator potensi kerawanan tertinggi (40%). Peringkat tersebut diikuti oleh kampanye ujaran kebencian (33%) dan kampanye mengandung SARA (27%).
Masih dari hasil indeks tersebut, diketahui ada 15 provinsi yang paling rawan isu kampanye melalui media sosial berdasarkan agregasi kabupaten/kota. Provinsi tersebut adalah Papua Selatan, Papua Barat Daya, DKI Jakarta, Kepulauan Bangka Belitung, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Barat, Kalimantan Barat, Maluku Utara, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Timur.
Penetrasi internet yang tinggi menjadi tantangan dalam upaya mitigasi dan prevensi penyebaran gangguan informasi. Penanggulangan gangguan informasi dalam Pemilu harus menjadi tugas bersama penyelenggara, peserta Pemilu (kandidat dan partai), pemerintah, simpatisan kandidat/partai, perusahaan platform teknologi, masyarakat, dan perusahaan media.
Proteksi sosial melalui jejaring dan penguatan informasi yang sehat, benar dan rasional merupakan pondasi yang kokoh dalam menangkal penyebaran hoax. Lebih-lebih pada tahun politik 2024, harus kita semua dapat berperan aktif dalam mensosialisasikan stop hoax supaya tidak menimbulkan kesenjangan sosial atas kepentingan politik yang ada.
Penyebaran gangguan informasi saat ini dan ke depan akan menjadi ancaman tidak hanya bagi penyelenggaraan Pemilu, tetapi juga memengaruhi kepercayaan publik pada pemerintahan dan lembaga negara, dukungan terhadap demokrasi, dan kohesivitas nasional. Untuk itu, diharapkan masyarakat agar menambah wawasan tentang dunia politik. Karena jika seluruh pihak paham dengan hal yang berkaitan kePemiluan, tentu akan menjadi catatan baik sendiri bagi pelaksanaan Pemilu 2024 dalam menentukan sosok pemimpin yang ideal di masa depan.
*Penggiat Media Sosial