Pentingnya Rekonsiliasi Pasca Pilpres
Oleh : Aldia Putra )*
Pasca hari pencoblosan, kedua kubu masih tetap mempertahankan keyakinan akan kemenangannya, bahkan ketika hasil real count dari KPU berbeda dengan klaim yang diutarakannya. Tuduhan atas kecurangan dan fitnah tentang server KPU yang dibobol juga dihembuskan.
Padahal Indonesia masih berduka atas meninggalnya 400 lebih anggota KPPS yang bertugas dalam penyelenggaraan pemilu. Namun Propaganda saling tuduh tak kunjung mereda.
Di level Nasional, manuver dari Partai Demokrat dan PAN ke kubu yang berseberangan memang menimbulkan ketidaknyamanan kelompok, namun pengakuan yang dilakukan demi hal yang lebih besar sebagai bangsa merupakan sesuatu yang positif.
Berani berubah sikap demi keutuhan yang besar meski harus tetap memiliki rasa kemanusuaan dan kesetiakawanan, dan secara politis hal ini dapat dinilai sebagai inisiatif rekonsiliasi, semula yang berseberangan kini menyatu untuk mengurangi menajamnya kekuatan konflk yang ada.
Seperti yang pernah disampaikan oleh Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), beliau menyampaikan bahwa di tengah situasi panas menanti hitung suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebaiknya dua pihak tim pemenangan menahan diri dengan menekan ego masing – masing.
Pernyataan SBY tersebut disampaikan di hadapan tokoh masyarakat yang sedang menjenguk Ani Yudhoyono di Rumah Sakit tersebut. Antara lain yang hadir, Sinta Nuriyah Wahid, Mahfud MD, Alissa Wahid, Dahlan Iskan, Beny Susetyo dan sejumlah tokoh lainnya.
Mantan Presiden RI 2 periode tersebut juga mengatakan bahwa membuka ruang dialog itu penting. Karena bagaimanapun ini menyangkut kepentingan bangsa yang harus diutamakan.
“Tentu kita tidak bisa berharap dengan sekali dialog akan menghasilkan suatu solusi, karena itu perlu untuk terus menerus mengedepankan upaya rekonsiliasi,” tuturnya.
Ada tiga hal yang disarankan SBY untuk mencari jalan keluar dari kegaduhan ini. Yakni, compromise, take and give dan win win solution.
Upaya rekonsiliasi juga mendapat dukungan dari Sekjen DPP PAN, Eddy Soeparno, yang menilai bahwa upaya rekonsiliasi kedua belah pihak merupakan usulan yang baik dan sangat positif.
“Saya yakin Prabowo dan Sandiaga selaku Capres dan Cawapres yang kami usung pasti akan menyambut gembira karena pada ujungnya perhelatan Pilpres ini kan sudah kita laksanakan, sekarang kita menunggu hasil,” jelas Eddy.
Dirinya juga mengakatan bahwa kita perlu menunggu hasil hitung yang resmi dari KPU yang dijadikan pegangan atau rujukan. Namun, apabila ada pihak yang merasa tidak puas atau ada yang perlu diselesaikan secara hukum, maka bisa menggugat melalui mekanisme hukum yang disediakan.
“Jadi saya pikir koridornya sudah jelas ya, dan cepat atau lambat, saya kira masalah rekonsiliasi adalah suatu hal keniscayaan pasti akan terjadi,” tambahnya.
Rekonsiliasi pasca pemilu tentu dapat menjadi teladan bagi publik, bahwa kedua paslon merupakan pemimpin yang mengajarkan perdamaian.
Demi nilai nilai dan kepentingan sebagai bangsa, sudah semestinya kita menyambut positif keberanian tersebut, termasuk nilai-nilai yang melekat pada pimpinan negara, Presiden, pimpinan MPR, DPR, secara individu berseberangan namun mampu dan berani melihat ruang, mengedepankan sistem ketatanegaraaan, uang harus merepresentasikan dan memperkuat kebangsaan, untuk tetap saling bersilaturahmi yang digunakan untuk mempersatukan keterbelahan pendukung masing – masing kontestan pilpres.
Karena pada dasarnya, demokrasi bukan berarti menciptakan sekat perbedaan, namun demokrasi merupakan landasan untuk menciptakan persatuan dalam perbedaan.
Jika merujuk pada 70 tahun yang lalu, kita akan diajak untuk berfikir bahwa diantara ustaz dan ulama intelektual yang secara historis memiliki label ikut serta dalam membangun bangsa Indonesia, sebagian darinya tidak terus memprovokasi memperdalam konflik dengan pijakan sumber eksternal. Termasuk sebagian Jendral saat ini yang menyadari bahwa menjaga kedaulatan dan persatuan bangsa jauh lebih penting daripada eksistensi politik semata.
Mereka tidak mendukung akan adanya seruan people power yang menganggap bahwa hasil KPU tgl 22 Mei yang masih beberapa hari itu tidak sah.
Dengan demikian, maka perkembangan ini haruslah fokus pada tahapan bagaimana kekerasan atau potensi perang dibelokkan menuju damai untuk dilaksanakan guna menopang rekonsiliasi yang telah disemai oleh berbagai pihak. Agar tidak ada ketakutan atas kekerasan di tengah masyarakat dalam menatap masa depan.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik