Peran Pemuka Agama sebagai Lini Terdepan dalam Pencegahan Radikalisme
Oleh : Ahmad Bagus Suparno )*
Sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, Indonesia terkenal dengan kebanggaan yang tinggi terhadap pluralisme dan sikap moderatnya dalam masalah agama sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang terdapat di lambang negara kita, Garuda Pancasila.
Walaupun begitu, momok radikalisme telah memberikan tantangan yang signifikan terhadap keberagaman ini. Ideologi radikal, yang seringkali dibalut retorika agama, mengancam dan mengganggu keharmonisan sosial serta persatuan nasional yang telah dipupuk Indonesia selama beberapa dekade.
Cendekiawan dan rohaniawan, Frans Magnis Suseno atau Romo Magnis menjelaskan bahwa radikalisme agama tidak lain adalah pengambilalihan agama oleh kepicikan dan kerakusan manusia. Radikalisme memalsukan agama menjadi alat kekuasaan, yang tidak sependapat dikafirkan. Bahkan, orang berpaham radikal tidak hanya mengkafirkan pemeluk agama lain, tapi juga pemeluk agama mereka sendiri. Mereka menggantikan kata “kita” dengan “kami”, memecahkan persatuan bangsa.
Dalam konteks ini, tokoh agama berperan penting dalam mencegah radikalisme, menjadi garda terdepan dalam menjaga perdamaian, dan mendorong penafsiran ajaran agama yang moderat.
Radikalisme di Indonesia berakar pada berbagai konteks sosial politik. Mulai dari pemberontakan Darul Islam (DI) pada tahun 1949-1962 hingga kebangkitan Jemaah Islamiyah (JI) pada awal tahun 2000an, kelompok radikal berupaya mendirikan negara Islam atau menerapkan hukum Syariah melalui kekerasan dan pemaksaan. Selain itu, pengaruh gerakan jihad global, seperti ISIS, bergema di sebagian kecil kalangan masyarakat Indonesia, sehingga meningkatkan kekhawatiran terhadap terorisme yang tumbuh di dalam negeri.
Para pemimpin agama di Indonesia, yang dikenal sebagai ulama, kyai, dan gelar lainnya, memiliki pengaruh yang signifikan dalam komunitas mereka. Peran mereka tdak hanya sebagai pembimbing spiritual, namun juga mencakup bidang sosial, pendidikan, dan bahkan politik. Pengaruh yang luas ini menempatkan mereka secara unik dalam melawan ideologi radikal.
Salah satu cara utama para pemimpin agama memerangi radikalisme adalah dengan mempromosikan interpretasi Islam yang moderat. Nahdlatul Ulama (NU) menggunakan slogan Islam Nusantara menekankan pada integrasi ajaran Islam dengan nilai-nilai budaya lokal, sedangkan Muhammadiyah menggunakan slogan Islam Berkemajuan menekankan pada pemurnian Islam dan inovasinya di bidang Pendidikan. Kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini berada di garis dalam menyebarkan pesan-pesan yang menentang penafsiran radikal terhadap Islam, dengan menekankan inti ajaran agama tentang kasih sayang dan perdamaian.
Pendidikan merupakan medan pertempuran penting dalam memerangi radikalisme. Banyak pemimpin agama di Indonesia yang menjalankan pesantren, yang berfungsi sebagai pusat pendidikan agama yang penting. Dengan menanamkan pemahaman Islam yang moderat sejak usia muda, sekolah-sekolah ini memainkan peran penting dalam membentuk perspektif keagamaan generasi mendatang. Reformasi kurikulum yang mencakup pengajaran toleransi beragama, berpikir kritis, dan bahaya radikalisme sangat penting dalam upaya ini.
Terkait hal ini, Wakil Presiden Indonesia, Ma’ruf Amin berharap agar generasi muda di Tanah Air dibentengi dari paparan radikalisme karena ketahanan generasi muda merupakan salah satu pilar utama dalam membangun masa depan yang kuat bagi Indonesia. Menurutnya, perlu dilakukan promosi moderasi beragama dan penguatan paham kebangsaan. Pancasila adalah piagam dari kesepakatan dan telah terbukti menyatukan Indonesia.
Selain itu, para pemuka agama perlu aktif terlibat dalam program sosialisasi yang memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya radikalisme. Program-program ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, termasuk khotbah, diskusi publik, dan kampanye media. Dengan mengatasi akar penyebab radikalisasi, seperti kesenjangan sosial-ekonomi dan kurangnya pengetahuan agama, inisiatif-inisiatif ini bertujuan untuk membangun ketahanan terhadap ideologi ekstremis.
Dalam beberapa kasus, para pemimpin agama berkolaborasi dengan lembaga pemerintah dan organisasi masyarakat sipil untuk melaksanakan program deradikalisasi. Program-program ini biasanya melibatkan kombinasi pendidikan ulang agama, konseling psikologis, dan pelatihan kejuruan untuk membantu mantan radikal berintegrasi kembali ke masyarakat. Kredibilitas dan otoritas moral para pemimpin agama dapat berperan penting dalam keberhasilan inisiatif-inisiatif ini.
Keberagaman agama di Indonesia juga memerlukan pendekatan kolaboratif untuk mencegah radikalisme. Para pemimpin agama dari berbagai agama sering kali terlibat dalam dialog antar agama, mendorong saling pengertian dan rasa hormat. Dialog-dialog ini membantu menghilangkan kesalahpahaman dan mengurangi ketegangan antar komunitas agama yang berbeda, serta memupuk lingkungan hidup berdampingan dan damai.
Kerja sama antar agama juga meluas ke proyek-proyek komunitas bersama dalam mengatasi masalah-masalah sosial bersama, seperti kemiskinan, pendidikan, dan bantuan bencana. Dengan bekerja sama dalam inisiatif-inisiatif ini, para pemimpin agama menunjukkan manfaat praktis dari keharmonisan antar agama dan membangun hubungan antar komunitas yang kuat dan dapat menahan taktik memecah belah dari kelompok radikal.
Ancaman radikalisme juga dapat datang dari internet dan media sosial yang telah menjadi alat yang ampuh bagi kelompok radikal untuk menyebarkan ideologinya dan merekrut pengikut. Para pemimpin agama di Indonesia telah menyadari perlunya melawan radikalisasi digital ini. Banyak di antara mereka yang hadir secara online, menggunakan platform media sosial untuk menyebarkan konten keagamaan moderat dan berinteraksi dengan generasi muda.
Program literasi digital yang mengedukasi masyarakat tentang bahaya radikalisasi online dan cara menilai konten online secara kritis juga penting. Dengan membekali individu dengan keterampilan untuk menavigasi lanskap digital dengan aman, para pemimpin agama dapat membantu mengurangi pengaruh ideologi radikal di dunia maya.
Kesimpulannya, para pemimpin agama di Indonesia memainkan peran penting dalam mencegah radikalisme, yaitu dengan memanfaatkan pengaruh dan otoritas moral mereka untuk mempromosikan agama yang moderat, mendidik masyarakat, dan terlibat dengan komunitas yang berisiko. Melalui upaya mereka di bidang pendidikan, keterlibatan masyarakat, dialog antaragama, dan kehadiran online, mereka bertindak sebagai garda depan dalam menjaga keharmonisan sosial dan keberagaman agama di Indonesia.
Meskipun tantangan masih ada, pendekatan kolaboratif dan komprehensif dapat memperkuat dampaknya dan membantu membangun masyarakat yang tangguh dan tahan terhadap ancaman radikalisme. Dengan terus mendukung dan memberdayakan para pemimpin tersebut, Indonesia dapat menjunjung tinggi tradisi toleransi beragama dan perdamaian dalam menghadapi radikalisme yang semakin meningkat.
)* Mahasiswa Ilmu Politik salah satu PTS di Bandung