Perihal Antek Asing, Ada Maling Teriak Maling
Oleh : Ahmad Harris )*
Jelang Pilpres 2019, berbagai macam isu digunakan untuk menjatuhkan maupun memperoleh dukungan suara dari masyarakat. Mulai dari isu agama, ekonomi hingga keberpihakan kepada asing kerap dijadikan senjata oleh kandidat Pilpres 2019. Strategi menyebarkan isu-isu tersebut kerap digunakan oleh kubu oposisi yaitu Prabowo-Sandi untuk menjatuhkan suara Presiden Jokowi. Salah satu yang menjadi main issue sekaligus senjata kubu Prabowo ialah isu antek asing. Dalam kampanyenya, tak jarang Prabowo-Sandi, mengenalkan diri sebagai pahlawan yang akan melawan kekuatan asing di Indonesia.
Sayangnya, isu tersebut justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Dalam satu kesempatan wawancara dengan Tempo, Prabowo pernah mengakui bahwa ia pro dan kagum terhadap Amerika. Menurutnya, jika Indonesia ingin maju, maka Indonesia harus mengadopsi nilai-nilai negara barat. Wajar saja, jika dalam kampanyenya pun, Prabowo berkiblat kepada Trump dengan slogan “Make Indonesia Great Again”. Melinik strategi politik dengan menebarkan kekhawatiran ala Prabowo juga sangat mirip dengan strategi Trump dalam Pilpres AS 2016 lalu. Alih-alih menyampaikan visi dan misinya, Prabowo justru mengisi seluruh kampanye dengan berbagai kekhawatiran fiktif.
Pemikiran serta strategi Prabowo tersebut tampaknya sangat berseberangan dengan kesan pahlawan anti asing yang selama ini ia hadirkan. Bukan hanya berseberangan, Prabowo justru mengadopsi nilai-nilai Barat dengan sangat baik. Sayangnya, gagasannya tersebut mengkhianati cita-cita politik bangsa Indonesia yang seharusnya menunjukkan karakternya sendiri. Pemikiran Prabowo tersebut nyatanya sangat bertentangan dengan ajaran Trisakti yang digaungkan Bung Karno, yakni berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian yang berkebudayaan Indonesia. Lantas, bagaimana mungkin, seorang dengan pemikiran pro Amerika berani mendeklarasikan diri sebagai pahlawan anti asing? Mustahil bukan tentunya.
Tak hanya Prabowo, Sandiaga Uno ternyata juga digadang sebagai salah satu pengusaha yang anti terhadap asing. Bahkan, lebih jauhnya Sandiaga Uno kerap dinobatkan sebagai sosok yang saleh dan taat akan agama. Mulai dari sebutan Santri hingga gelar Ulama pun diberikan kepada Sandiaga Uno meski tidak memiliki latar belakang pendidikan keagamaan. Entah bagaimana caranya, menjelang Pilpres 2019, status religius Sandiaga Uno kian meroket. Sayangnya, gelar Santri maupun Ulama tersebut sangat tidak pantas untuk disandingkan untuknya.
Saat masih menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno pernah mendukung DWP (Djakarta Warehouse Project), salah satu festifal dance music tahunan paling besar di Indonesia yang jelas mendapat penolakan dari sejumlah ormas Islam. Pasalnya, festival tersebut ditolak karena adanya tuduhan masyarakat atas tindakan maksiat yang terjadi di setiap acara tahunan tersebut. Selain itu, adanya penjualan miras, alkohol, hingga narkoba juga menjadi keresahan bagi masyarakat yang menolak acara tersebut terselenggara. Sayangnya, Sandiaga Uno yang dianggap sosok taat agama, dan dianggap Santri sekaligus Ulama justru mendukung acara DWP tersebut. Bahkan, ia mengakui anaknya juga sering menghadiri acara tahunan tersebut. Hal tersebut tentu mengejutkan, baru kali ini ada sosok Ulama yang mengizinkan anaknya mengikuti acara yang rawan diisi dengan kegiatan maksiat.
Oleh karenanya, penting bagi masyarakat untuk menilai siapa yang anti asing dan pro asing serta siapa yang anti Islam dan pro terhadap Islam. Tidak mungkin Prabowo, sosok yang ingin mengadopsi nilai-nilai Barat ke dalam Indonesia, dapat dikatakan sebagai pahlawan anti asing. Mustahil pula, Sandiaga Uno dapat dikatakan sebagai sosok Islami jika mendukung kegiatan yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Sayangnya, baik Prabowo maupun Sandi tak pernah henti menggaungkan lawannya sebagai sosok yang antek asing dan anti Islam. Inikah yang dinamakan maling teriak maling? Tentu, masyarakat sudah cerdas untuk menjawabnya.
)* Mahasiswa FISIP Universitas Dharma Agung