Polemik Politik

Pers dan Anak Muda Dalam Membingkai Papua


Oleh : Abdul Rozak )*

Dalam setiap peristiwa, pasti ada saja yang mencari celah untuk memprovokasi utamanya melalui postingan di sosial media. Dalam kasus rasisme Papua misalnya, Polisi menjerat Veronica dengan pasal berlapis UU KUHP dan UU ITE karena membuat postingan hoaks dan provokatif di linimasa twitternya.

Ia memposting tentang penangkapan mahasiswa, polisi mulai menembak ke dalam asrama dan kalimat tersebut ditulis dalam bahasa Inggris. Tersangka veronika sangat aktif melakukan provokasi, sehingga membuat keonaran.

            Sementara itu, kerusuhan yang terjadi di Papua Barat ternyata disebabkan oleh masyarakat dan Mahasiswa yang terpancing emosi dipicu oleh beredarnya video di media sosial. 

            Massa yang melakukan unjuk rasa dan berujung pada blokade jalan tersebut merasa tidak terima dengan konten maupun video yang beredar di media sosial. Pasalnya masyarakat Papua merasa terhina dari isi video tersebut.

            Padahal mengenai videro tersebut, kita tentu belum bisa membuktikan akan kebenarannya. Karena hal itulah Polri mengerahkan tim Cyber Bareskrim Polri untuk menelusuri kebenaran konten video provokatif tersebut.

            Unjuk rasa yang terjadi di Papua barat tersebut merupakan bentuk protes atas dugaan persekusi dan serangan rasial terhadap Mahasiswa Papua di Pulau Jawa. Bahkan, massa yang awalnya menjalankan aksinya dengan damai tersebut, akhirnya melakukan pembakaran terhadap Kantor DPRD Papua Barat.

            Dari kisah tersebut, kita tahu bahwa kerusuhan yang terjadi merupakan dampak dari adanya berita provokatif yang menyulut kebencian dan amarah, tentu saja kurang bijak kiranya apabila kita hanya menyalahkan Pemerintah tanpa menghadirkan solusi.

            Menyikapi terkait dengan berita yang provokatif tersebut, Pers tentu dapat berperan penting dalam mewujudkan perdamaian dan rekonsiliasi di Papua karena merupakan salah satu pilar demokrasi.

            Perintis jurnalisme damai John Galtung dan Maggie O’Kane menyatakan, jurnalisme damai dimaksudkan untuk menghindari atau mencegah munculnya kekerasan di masyarakat.

            Pendekatan tersebut memiliki prinsip dalam membuat konten, yaitu membingkai suatu kejadian lebih luas, labih berimbang dan lebih akurat. Karena itu, laporan pers juga harus mengarahkan penyampaian informasi yang berdampak pada perdamaian.

            Mereka berpendapat, dengan mengedepankan perdamaian, jurnalisme jenis seperti ini berupaya sebisa mungkin untuk menghindari kata – kata yang mengandung makna provokasi. Di samping itu, dalam konteks konflik, kekerasan, atau bahkan perang, jurnalisme damai lebih mengedepankan empati pada para korban.

            Oleh karena itu, konten – konten yang disajikan dipilih sebagai bahan berita yang tidak hanya memaparkan masalah, namun juga menawarkan solusi.

            Pers memiliki kode etik atau aturan tertulis yang sekiranya bisa diterapakan dalam mewujudkan perdamaian. Dimana jurnalis tidak boleh menyakiti siapapun. Berita yang dibuat jurnalis bisa berdampak besar, karena itulah kita mesti sadar bahwa kata – kata dan visual yang diterbitkan bisa mempengaruhi hidup banyak orang.

            Namun sepertinya hal tersebut lebih banyak diterapkan pada media mainstream seperti tv, radio maupun surat kabar. Lantas bagaimana dengan berita yang ada di internet, atau bahkan ada saja warganet yang menjadi jurnalis tanpa koran, hanya berbekal facebook dan akun twitter, siapapun bisa menjadi jurnalis apalagi jurnalis yang provokatif.

            Pengguna internet yang mayoritas adalah anak muda, tentu rawan terpapar berita yang ada di sosial media, secara anak muda zaman sekarang lebih banyak mengonsumsi berita dari gawainya daripada menonton televisi.

            Sedangkan di Internet utamanya di media sosial, siapapun bisa dengan bebas menuliskan apapun, baik itu berita baik, berita buruk atau berita bohong sekalipun. Sehingga anak muda harus memiliki kepekaan dalam mencerna informasi, apakah informasi tersebut bermanfaat atau justru malah menyesatkan.

            Kita juga perlu menyadari bahwa Perpecahan yang ada di Indonesia khususnya Papua, salah satunya adalah karena adanya konten yang provokatif dan massa yang terprovokasi.

            Selama seseorang terkoneksi dengan internet, maka ia tidak akan imun terhadap hoax, sehingga para pengguna media sosial harus memiliki filter agar tidak mudah terprovokasi oleh berita yang tidak valid.

            Oleh karena itu, baik Pers maupun Anak Muda, tentu memiliki peran vital dalam menjaga kondusifitas yang ada di Papua, meski secara tidak langsung. Sudah semestinya media menyebarkan semangat perdamaian dan anak muda tidak mudah terpovokasi oleh hoax.

)* Penulis adalah kontributor Pustaka Institute

Show More

Related Articles

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih