Pidato Kebangsaan dengan Data Diawang-Awang
Oleh : Rinaldi Gustaf*
Dalam pidato Kebangsaan “Indonesia Menang”, Capres nomor urut 02, Prabowo Subianto menyampaikan beberapa hal tentang pemerintahan terdahulu yang semuanya bernuansa minor dan satire. Dikatakannya era pemerintahan yang dulu, khususnya di era Jokowi, sama sekali tidak ada nilai positif maupun keberhasilan yang diraihnya. Justru kemunduran yang terjadi selama ini. Namun pernyataan tersebut tidak didukung oleh data valid atau tanpa menyebutkan sumber datanya dari mana maupun angka perbandingan dari waktu ke waktu sesuai rezim yang memerintah.
Sebagai ilustrasi, pernyataan tentang utang negara untuk menggaji ASN/PNS. Hal ini sama sekali tidak berdasar. Atau mungkin Prabowo kurang memahami tata cara penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Sebagaimana lazimnya dalam setiap penyusunan RAPBN komponen belanja modal (di dalamnya termasuk gaji pegawai dimasukkan terlebih dahulu). kemudian baru belanja barang, dll. Oleh karena itu, belum pernah gaji PNS dibayar dengan utang. Mungkin hal ini bisa terjadi di negara – negara yang sedang kacau atau negara yang akan runtuh, seperti Afrika. Hal ini disebabkan karena uangnya tidak laku (hiper inflasi sampai 400%) maka mereka pinjam ke luar negeri dengan valuta untuk membayar pegawainya. Berbeda dengan Indonesia, negara kita bukanlah negara yang kacau seperti itu, apalagi negara gagal. Maka Prabowo harus diberi pemahaman yang benar tentang bagaimana penyusunan RAPBN jika ingin menjadi presiden.
Demikian juga pernyataan tentang meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran, tidak disertai data yang akurat dan sahih, karena angka kemiskinan Indonesia saat ini sudah turun menjadi kurang dari 10% dengan jumlah 25,95 juta orang, atau per 17 Juli 2018, pengangguran 6,87 juta atau 5,33%, turun dari tahun sebelumnya 7,1 juta. Beberapa kali baik Prabowo maupun Sandi berserta tim kampanyenya, terutama Fadli Zon mengekspos wawancara dengan masyarakat yang menyatakan hidup sekarang makin susah, mencari kerjapun makin sulit. Mungkin hal ini benar karena pemilihan sampelnya di daerah yang memang masih tergolong miskin atau masyarakat yang belum memiliki pekerjaan. Namun barangkali sesekali mereka perlu melakukan wawancara di daerah Thamrin – Jakarta, atau di daereh maju dan berkembang, ataupun di kawasan pertanian yang subur. Tentu mereka akan menjawab lain.
Pernyataan bahwa petani padi kecewa karena saat panen pemerintah mengimpor beras juga sangat bertentangan dengan kondisi di lapangan. Pemerintah selalu mengimpor beras pada saat stok berkurang dan sebelum masa panen raya tiba. Selain itu, impor beras dilakukan ketika harga beras cenderung naik. Selama ini impor beras belum pernah dilakukan saat panen raya. Perlu diketahui, sejak swasembada beras di tahun 1988, kebutuhan masyarakat Indonesia dibanding produksi beras nasional fluktuatif, namun lebih sering dalam kondisi defisit cadangan beras nasional. Untuk menjaga stabilitas harga beras itulah pemerintah melakukan impor beras sesuai kebutuhan. Pemerintah juga sengaja mengekspos saat beras impor dibongkar di pelabuhan dengan harapan agar masyarakat tenang dan para spekulan tidak mempermainkan harga.
Jika semua pernyataan yang disampaikan dalam Pidato Kebangsaaan kemarin tidak didukung data, hal ini termasuk klasifikasi kebohonan publik. Oleh karena itu, sikap Prabowo ini perlu dikritisi. Belum menjadi pemimpin saja sudah membohongi publik, apalagi nanti jika “seandainya“ Prabowo yang terpilih menjadi pemimpin rakyat. Rakyat Indonesia akan sering dibohongi dengan janji kosong belaka hanya sekedar untuk melanggengkan kekuasaannya.
*Penulis adalah Pengamat Masalah Politik