Pidato Kebangsaan Prabowo-Sandi Tuai Respon Negatif
Oleh : Aziz Ilham )*
Capres Prabowo Subianto menyampaikan pidato kebangsaan bertajuk ‘Indonesia Menang’ yang digelar di JCC Plenary Hall, Jakarta, tanggal 14 Januari 2019 lalu. Prabowo – Sandi menyampaikan uraian visi-misi yang mereka usung selama kurang lebih 40 menit lamanya. Pidato visi misi yang disampaikan Calon Presiden Prabowo Subianto tersebut mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan elite dan pengamat politik karena dinilai miskin solusi. Bahkan, pidato Prabowo disebut mendaur ulang dari apa yang disampaikan sebelumnya.
Pidato politik Calon Presiden nomor urut 02 mendapatkan sorotan, salah satunya dari Pengamat Komunikasi Politik Universitas Airlangga Surabaya, Suko Widodo. Pidato yang dinamai Prabowo sebagai pidato Indonesia Menang itu menurut Suko Widodo justru lebih banyak memuat penyataan-pernyataan menyerang namun tidak diimbangi dengan tawaran gagasan baru. Padahal seharusnya pidato ofensif sebaiknya juga diimbangi dengan gagasan, dan inovasi baru supaya pesan menbawa perubahan bisa tersampaikan. Sayangnya, pidato Prabowo yang ofensif alias menyerang itu juga tidak diimbangi dengan data statistik yang riil dan makro. Hal tersebut menjadi poin kurang pas dalam pidato politik yang ditonton oleh masyarakat luas.
Selanjutnya, menurut Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, pidato Prabowo adalah penerjemahan dari yang disebut beberapa bulan lalu tentang ekonomi kebodohan atau economic stupidity. Prabowo tidak peduli dengan data BPS bahwa angka kemiskinan dan pengangguran turun, sebab narasi yang mereka bangun adalah Presiden Jokowi gagal menjadi pemimpin Indonesia selama 4 tahun ini. Selain itu, Adi menilai tidak ada yang baru dari apa yang disampaikan Prabowo dan hanya sebagai daur ulang gagasan-gagasan Prabowo tentang pemerintahan Jokowi yang dianggap gagal. Prabowo terkesan abai terhadap data BPS sehingga wajar banyak pihak berpandangan pidato yang disampaikannya cenderung menampilkan pesimisme.
Dalam pidato tersebut, Adi juga menganggap Prabowo terlalu memonopoli sehingga, mengesampingkan peran Sandiaga Uno sebagai Cawapres. Padahal, publik. terutama undecided dan swing voter berharap Sandiaga sebagai pembeda. Alhasil, Sandi hanya dianggap sebagai pelengkap.
Pengamat Politik Ray Rangkuti menilai pernyataan kontroversial Capres Prabowo Subianto bisa menjadi senjata makan tuan. Pasalnya, publik bisa jenuh dan justru melontarkan kritik kepada Prabowo. Prabowo memiliki efek elektoral yang kuat, oleh karena itu dirinya sering kali mengeluarkan diksi-diksi kontroversial. Tapi masyarakat akan merasa jenuh untuk melihatnya. Selain itu, sinyal bagi Prabowo tidak mengeluarkan statemen-statemen dan hanya bersifat mengambang yang sebetulnya akan mengurangi efek elektabilitasnya.
Tim Pemenangan Jokowi-Ma’ruf, Ace Hasan Syadzily pun menanggapi isi pidato kebangsaan tersebut. Ia menganggap tidak ada yang baru dan hanya dipenuhi retorika namun tetap klise, serta miskin gagasan segar. Prabowo tetap mengandalkan strategi ‘our brand is crisis’. Dengan menilai situasi negara saat ini di tengah krisis. Semua dilihat buruk, sengsara, tertinggal, terbelakang dan tergantung. Penggambaran situasi seperti itu, mirip pidato Donald Trump. Sehingga terlihat jelas Prabowo berupaya menjiplak Donald Trump dalam Pemilu AS dengan mengaduk-aduk sentimen dan emosi, mengangkat contoh-contoh dramatis tapi tidak disertai data dan fakta yang akurat.
Sama halnya saat bicara soal tawaran program aksi yang akan dilakukan. Prabowo tidak ada yang genuine. Sebagian besar yang dijanjikan sudah dikerjakan oleh Jokowi. Prabowo baru berjanji, Jokowi sudah memberikan bukti. Lima fokus dan agenda aksinya banyak menjiplak program Jokowi, mulai dari stabilisasi harga, pembukaan lapangan kerja, penurunan angka kemiskinan dan ketimpangan, penguatan BUMN sebagai agen pembangunan, menjaga iklim usaha, infrastruktur yang bermanfaat, kepastian hukum pada ojek online, pembenahan tata kelola BPJS, revitalisasi industri, semua sudah dikerjakan oleh Presiden Jokowi. Jadi tidak ada yang baru.
Di samping itu, Ia juga menilai ada paradoks dalam pidato Prabowo terkait persekusi, sementara Ia membiarkan kelompok pendukungnnya melakukan persekusi. Berteriak minta pendukungnya tidak menghujat, mencemooh tapi membiarkan hoax dan fitnah ke Jokowi bertebaran setiap hari. Berteriak soal Bhinneka Tunggal Ika tapi membiarkan pendukungnya menebar kebencian pada kelompok yang berbeda pilihan. Sungguh ironis.
)* Pemerhati Politik