Pihak Luar Tidak Bisa Intervensi KUHP
Oleh : Dina Kahyang Putri )*
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah disahkan oleh DPR RI merupakan salah satu terobosan untuk mewujudkan keadilan sosial. Aturan hukum tersebut merupakan keputusan nasional Indonesia yang tidak boleh dicampuri oleh pihak asing.
Ketika KUHP disahkan maka masyarakat Indonesia menyambut positif karena mereka terlindungi dari berbagai kejahatan pidana. Apalagi proses pembuatan draft KUHP sampai disahkan butuh waktu sampai bertahun-tahun. Indonesia akhirnya punya UU sendiri yang mengatur hukum pidana, bukan UU buatan penjajah pada masa kolonial.
Namun sebaliknya, Australia dan Amerika Serikat marah-marah. Mereka menganggap KUHP melanggar hak asasi manusia dan merugikan. Padahal mereka hanya orang luar yang tidak berhak untuk mencampuri UU Indonesia.
Juru Bicara Luar Negeri Amerika Ned Price mengkhawatirkan KUHP karena ada pasal anti perzinahan. Menurutnya, hal ini akan berpengaruh negatif terhadap warga Amerika yang tinggal di Indonesia. Selain itu ia juga mengkhawatirkan investasi di Indonesia yang terpengaruh oleh KUHP baru.
Amat disayangkan ketika ada pihak luar yang mengintervensI KUHP. Padahal menurut hukum internasional, tidak ada negara manapun yang berhak mencampuri urusan negara lain. Apalagi urusannya adalah sebuah UU yang mengatur warga negara.
Memang Amerika adalah negara adidaya tetapi bukan berarti kekuasaannya digunakan untuk mempengaruhi negara lain. Seharusnya mereka sadar diri bahwa ia punya super power tetapi jangan digunakan secara berlebihan. Mengintervensi UU negara lain merupakan tindakan tercela karena mereka tidak berhak melakukannya, dengan alasan apapun.
Amerika seharusnya sadar diri bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat dan merdeka. Mereka tidak boleh mengatur UU yang ada di Indonesia dengan alasan investasi. Penyebabnya karena belum tentu semua pengusaha asing akan membatalkan penanaman modal di Indonesia pasca diberlakukannya KUHP baru, karena mereka memisahkan antara urusan politik dan ekonomi.
Pasal yang dipermasalahkan oleh pihak luar adalah pasal anti perzinahan dan mereka takut jika ada warga negaranya yang datang ke Indonesia lalu dipidana (karena bukan pasangan suami istri). Padahal Wakil Menteri Hukum dan HAM Prof. Edward Omar Sharif menyatakan bahwa pasal perzinahan merupakan delik aduan. Yang artinya baru berlaku ketika ada yang mengadukannya, seperti orang tua korban.
Jika ada warga negara asing yang membawa kekasihnya ke Indonesia maka ia tidak akan kena pasal anti perzinahan karena tidak ada yang mengadukannya. Terlebih, tidak akan ada juga yang merazianya lalu mempidanakan dengan sembarangan. Mereka tidak perlu takut karena aturan dalam KUHP tidak seperti itu.
Seharusnya sebagai negara besar, perwakilan dari pihak asing berpikir akan perbedaan kultur antara Indonesia dan di luar negeri. Di Indonesia perbuatan tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan tidak diperbolehkan, dan pelakunya bisa dipidana melalui delik aduan. Sedangkan di negeri lain diperbolehkan karena menganut liberalisme.
Sementara itu, Australia juga mengeluarkan travel warning bagi warga negaranya yang akan ke Indonesia. Penyebabnya lagi-lagi karena pasal anti perzinahan dalam KUHP. Travel warning ini sangat disayangkan, karena biasanya wisatawan dari Australia sering berkunjung ke Bali di akhir tahun.
Namun travel warning ini sepertinya tidak mengurangi jumlah wisatawan asing di Indonesia, karena menurut data dari Dinas Pariwisata, kedatangan turis asing di negeri ini tidak berkurang sama sekali. Justru mengalami kenaikan kunjungan wisatawan asing baik di bandara maupun pelabuhan. Mereka ingin menghabiskan liburan natal dan tahun baru di Bali maupun Lombok.
Intervensi dari Australia juga sangat disayangkan karena mereka menganggap KUHP itu kejam dan UU yang tidak berperikemanusiaan. Padahal mereka tidak sadar bahwa Indonesia dan di Australia berbeda. Di Indonesia memiliki paham demokrasi. Sedangkan di sana berpaham liberal yang berarti sangat bebas.
Indonesia tidak akan berubah jadi liberal meski era telah berubah menjadi lebih modern. Demokrasi tetap ditegakkan oleh pemerintah dan salah satu caranya dengan penerapan KUHP. Seharusnya negara-negara luar memahami bahwa Indonesia bukanlah negara liberal yang bisa diajak bebas sampai melampaui batas.
Pembuatan KUHP sudah dijalankan sebaik mungkin, oleh karena itu butuh waktu yang lama hingga penegsahannya. Seharusnya pihak luar memahami bahwa UU ini sesuai dengan kebiasaan dan kebudayaan di Indonesia. Namun tidak bisa disamakan dengan kebudayaan dan hukum yang ada di negaranya.
Pihak asing tidak perlu mengintervensi KUHP karena mereka tidak berhak mengatur atau mengubah UU dari negara lain. Mereka harus tunduk pada hukum internasional. Di mana sebuah negara tak boleh mencampuri urusan negara lain, apalagi jika urusannya adalah UU yang menyangkut kepentingan banyak orang. Mereka juga tidak boleh mem-bully Indonesia yang dianggap kolot, padahal mempertahankan adat ketimuran.
)* Penulis adalah kontributor Persada Institute