Polemik TWK di KPK Bernuansa Politis
Oleh : Putu Prawira )*
Polemik tentang Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) malah disinyalir bernuansa politis, karena ada dugaan berkaitan dengan tahun 2024. Masyarakat berharap agar polemik itu dihtentikan karena KPK adalah lembaga negara yang lurus dan tidak ada sangkut-pautnya dengan politik.
KPK adalah lembaga antirasuah yang dulu menjadi gebrakan, untuk menangkap para koruptor dan mengamankan uang negara. Sebagai lembaga independen tetapi berada di bawah negara, tugas KPK amat mulia. Korupsi adalah tindakan yang sangat nista karena mencuri uang rakyat, dan pelakunya harus dihukum dengan setimpal.
Nama KPK kembali ramai ketika seluruh pegawainya diwajibkan mengikuti tes wawasan kebangsaan, karena mereka akan diangkat jadi aparatur sipil negara (ASN). Spontan banyak yang kaget, mengapa harus ada ujian ulang? Mereka pun jadi berpikiran macam-macam dan menduga dengan negative thinking.
Padahal TWK adalah tes yang memang menjadi penentu apa seseorang lolos jadi ASN atau tidak, sehingga tidak berkaitan dengan pihak manapun. Sehingga jika ada yang memprotes, malah bisa menggeser KPK sebagai lembaga yang independen ke panggung politik praktis. Karena intervensi dari beberapa pihak yang diduga berkaitan dengan politikus tertentu.
KPK seharusnya berjalan dengan lurus tanpa ada kepentingan dari pihak tertentu. Maka soal-soal dalam TWK akan menguji apakah tiap pegawainya berafiliasi dengan kelompok tertentu atau memiliki pandangan politik yang bertentangan dengan negara. Jika jawabannya iya, maka wajar ketika mereka tidak lolos tes. Karena sudah terbukti tidak setia pada negara.
Amat wajar ketika ada pegawai KPK yang ternyata berafiliasi dengan politik sayap kiri dan gagal diangkat ASN. Karena mereka juga gagal menunjukkan rasa nasionalisme dan ternyata menunjukkan gelagat politik yang negatif. Padahal sebagai pegawai KPK, mereka harus bersikap jujur dan independen, dan tidak boleh memiliki keterkaitan politik atau diatur oleh partai tertentu.
Jangan sampai image KPK yang sudah bagus malah ternodai oleh polemik TWK. Karena seharusnya masyarakat mendukung pengangkatan para pegawai KPK menjadi ASN dan tak mempermasalahkan hasil tesnya, karena sebagian besar dari mereka yang tidak lolos masih mendapat kesempatan kedua. Jadi seharusnya permasalahan ini tidak perlu dibesar-besarkan.
Justru ketika ada pegawai KPK yang memprotes tes wawasan kebangsaan, maka ia menunjukkan karakter aslinya yang anti demokrasi, karena tidak mau menuruti perintah atasan. Karena dalam sistem demokrasi tak boleh seperti itu, walau boleh menyuarakan pendapat tetapi harus sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Jika memaksakan pendapat maka sudah terlihat bahwa mereka cenderung otoriter.
Begitu juga dengan anggapan bahwa tes wawasan kebangsaan hanya modus untuk menyingkirkan penyidik tertentu. Hal ini tidak ada kaitannya sama sekali, karena mereka masih boleh bekerja hingga bulan oktober tahun 2021. Sehingga tidak akan mempengaruhi kinerja KPK pada beberapa waktu ke depan.
Jika ada modus untuk menyingkirkan penyidik tertentu, maka soal-soal dalam tes wawasan kebangsaan akan dibuat sendiri oleh para petinggi KPK, sehingga akan mudah dipermainkan hasilnya. Namun kenyataannya tidak, karena pembuat soalnya adalah lembaga negara lain. Selain itu, para asesor yang mengawasi ujian TWK juga bekerja secara profesional dan tidak ada unsur subjektif.
Polemik tentang tes wawasan kebangsaan di KPK sudah seharusnya dihapus, karena takut akan bernuansa politis. Apalagi 3 tahun lagi pemilihan presiden, sehingga takut ada modus dari partai tertentu untuk mengacak-acak KPK dari dalam. Sebaiknya polemik ini dihentikan sekarang juga, agar para pegawai KPK bisa fokus dan tenang dalam bekerja saat memberantas korupsi di Indonesia.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute