Prabowo Mengajak Relawan Menginap di TPS, Kurang Kerjaankah?
Oleh : Dodik Prasetyo )*
Menjadi Capres untuk kedua kalinya, Prabowo nampak menggebu – gebu untuk merebut kursi tahta tertinggi di Indonesia. Ketu Umum Partai Gerindra itu sekali lagi mengingatkan kepada pendukungnya untuk menjaga Tempat Pemilihan Suara (TPS). Dirinya seakan takut akan adanya pemilih hantu. Prabowo juga meminta kepada seluruh relawan tim suksesnya untuk bersedia berjaga di TPS, kalau perlu sampai malam.
Menurutnya, Pilpres akan sangat menentukan nasib bangsa. Dalam pidatonya ia juga meminta kepada para relawan untuk membawa rantang dan tikar, sekalian piknik di TPS. Hal tersebut disampaikan Prabowo di Markas Roemah Djoeang, Jakarta Selatan pada 13 Januari 2019 lalu. Padahal jelas – jelas TPS itu dijaga bukan sebagai destinasi piknik. Dalam hal ini tentu muncul pertanyaan, kurang kerjaankah? Atau sudah tidak adakah kepercayaan Prabowo terhadap KPPS dan KPU sehingga meminta para relawan untuk “piknik” di TPS.
Perihal anjuran menginap di TPS jelas – jelas terkesan merepotkan, sebab yang dibutuhkan adalah kehadiran para saksi untuk mengawal pesta demokrasi itu. Bukan mengajak para relawan untuk menginap. Kubu penantang Jokowi pada Pilpres 2019 ini menunjukkan ketakutannya untuk kalah dalam Pilpres, mereka sadar akan sulitnya merebut simpati rakyat untuk mengalahkan Capres petahana Joko Widodo.
Bagaimanapun juga berasumsi terkait kecurangan menjelang Pilpres bukanlah sesuatu yang etis. Karena banyak mata sekarang mengawasi dan memantau semua proses dan tahapan Pemilu. Masyarakat tentu memiliki andil untuk menjaga agar Pemilu terselenggara dengan baik, tentunya dengan prinsip – prinsip langsung, umum, adil, bebas dan rahasia.
Prabowo terkesan takut akan adanya potensi kecurangan. Ia menilai bahwa TPS adalah tempat yang krusial, yang harus benar – benar dijaga dengan teliti. Dirinya juga berujar bahwa menjaga TPS merupakan bagian dari menjaga suara rakyat. Selain menjaga TPS, mantan Danjen Kopassus itu juga meminta kepada para relawan untuk bekerja keras memenangkan Prabowo – Sandi. Jika ditarik garis, tentu hal ini berkaitan dengan hoax 7 kontainer surat suara yang sudah dicoblos di Tanjung Priok. Hal ini semakin memberikan kesan akan adanya grand design yang mengarahkan bahwa proses Pemilu ini jauh dari jujur dan adil.
Sejak awal pemerintah selalu mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) bekerja secara transparan dan akuntabel. Sejak pendaftaran hingga penetapan Capres – Cawapres, acara kampanye damai, hingga tahapan saat ini, semuanya dilakukan dengan baik. Perintah Prabowo agar relawan menginap di TPS tentu akan mengarahkan opini publik bahwa KPU seakan – akan memiliki tendensi kepada salah satu pasangan calon. Ekses pernyataan seperti itu tentu dapat menimbulkan kegaduhan.
Dalam beberapa pidato yang dilontarkan Prabowo, dirinya tampak seperti jenderal perang yang mengatur strategi perang dari dalam tenda saja, tapi ogah turun ke lapangan. Hal ini bisa disebabkan karena sikap putus asa dari para kader Gerindra, dimana terungkap pernyataan bahwa Muzani, Sekjend Gerindra yang merasa terkepung karena partai – partai yang dulu mendukung Prabowo pada Pilpres 2014 sekarang beralih mendukung Jokowi. Bahkan kepala daerah yang dulu di 2014 mendukung Prabowo, sekarang malah ada yang mendukung Jokowi, bahkan kepala daerah tersebut berasal dari Partai PKS, PAN dan Demokrat.
Problem tersebut akhirnya membuat Prabowo seakan salah langkah dan sering membuat blunder, akibatnya ia mulai berkomentar yang aneh – aneh hingga meminta para pendukungnya untuk membawa rantang dan tikar untuk menginap di TPS. Prabowo juga dinilai banyak membuat blunder yang dianggap bisa berpengaruh pada elektabilitasnya dalam pertarungan Pilpres 2019. Hanya dengan kalimat tampang Boyolali, dirinya mendapat kecaman dari masyarakat Boyolali dan meminta beliau untuk meminta maaf kepada masyarakat Boyolali.
Terlebih lagi, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo – Sandiaga tampak tidak memiliki konsep dan strategi yang jelas untuk memenangkan Pilpres 2019. Pihak Prabowo – Sando ini hanya melakukan serangan – serangan tanpa data dan solusi terhadap pemerintahan Joko Widodo. Pihak Prabowo juga jarang menawarkan visi – misi yang jelas kepada publik, upaya politisasi berbalut agama seperti reuni 212 seakan menjadi tunggangan bagi dirinya untuk meraup suara.
Koordinasi program antara partai pendukung dan BPN Prabowo – Sandi juga dinilai tidak solid, bahkan bisa dinilai tanpa koordinasi sama sekali. Hal ini bisa terlihat dari isu gaji guru Rp 20.000.000 yang dikemukakan oleh Mardani Ali, tetapi hal ini langsung dimentahkan oleh Prabowo. Beberapa partai pendukung juga mulai ancang – ancang mensukseskan pemilihan legislatif dibanding Pilpres. Hal ini dinilai sangat masuk akal karena harapan mereka akan elektabilitas Prabowo – Sandi yang semakin merosot.
Anjuran Prabowo agar para relawan menginap di TPS juga menunjukkan, bahwa dirinya tidak percaya dengan kinerja KPU dan Bawaslu yang bahkan telah bekerja keras jauh sebelum pendaftaran bakal calon presiden dimulai. Semestinya ia menyadari bahwa Pemilu 2019 adalah pesta demokrasi yang banyak disorot oleh banyak mata, pengerahan relawan untuk menginap di TPS tentu merupakan sesuatu yang berlebihan. Padahal tiap calon hanya diwajibkan untuk mengirimkan saksi, bukan untuk piknik sampai membawa rantang.
Dalam kasus ini kita juga belajar, bahwa dalam kondisi panik, seseorang bisa berbicara aneh dan cenderung semaunya sendiri, selain itu koordinasi satu komando juga diperlukan agar publik tidak dibuat bingung oleh statement yang berbeda – beda. Politik nyatanya berkutat pada urusan kekuasaan dan kepentingan semata, pesta demokrasi sudah sepatutnya menjadi refleksi bagi bangsa untuk mendapatkan sosok pemimpin idaman, bukan pemimpin yang gila akan kekuasaan.
)* Penulis adalah Pemerhati Politik