Prabowo-Sandi: Melahirkan Pemerintahan yang Ahli Berbicara, bukan Ahli Bekerja
Penulis: Muhammad Wahyu*
Mengawali tahun 2019, pasangan Prabowo-Sandi beserta timses kubu 02 ini kembali membuat kebohongan-kebohongan kepada publik demi menjatuhkan Pemerintah Indonesia, khususnya nama Joko Widodo. Mulai dari Prabowo yang mengusik isu selang RSCM, Sandi berbohong masalah pembangunan Tol Cipali, hingga Andi Arief yang mengeklaim penemuan kontainer berisi surat suara telah dicoblos. Menghasilkan sebuah julukan yang disiratkan menjadi sebuah penghargaan ‘Kebohongan Award’ oleh Partai Solidaritas Indonesia.
Menanggapi kebohongan yang sering dilontarkan kubu 02 kepada masyarakat, pengamat politik, Boni Hargens pernah menyampaikan bahwa jika Prabowo-Sandiaga terpilih maka kemungkinan Prabowo-Sandiaga hanya akan melahirkan pemerintahan yang ahli berbicara bukan ahli bekerja. Ya, melihat awal masa kampanye saja sudah seperti itu, banyak bicara, banyak berbohong, bagaimana jika sudah jadi pemimpin negara. Mereka cenderung mencari dukungan politik atas dasar keprihatinan, keresahan, kecemasan dan kebencian pada lawan politik.
Kubu 02 sangat kuat dalam retorika selama berkampanye. Pasangan yang diusung koalisi Indonesia Adil Makmur tersebut, berhasil membangun persepsi masyarakat secara cepat dan mengobok-obok emosi kolektif masyarakat. Prabowo selalu menebarkan pesimisme kepada masyarakat seperti Indonesia bubar 2030 dan Indonesia akan punah. Gayanya yang penuh emosi dalam memimpin dan selalu melakukan pendekatan negatif campaign mengingatkan kita akan sosok Hitler. Prabowo terindikasi kuat akan mendaur ulang Orde Baru dalam varian yang berbeda.
Kepemimpinan yang lahir jika Prabowo-Sandiaga menang adalah kepemimpinan yang tampak baik dari luar namun gagal total di dalam. Hal tersebut berbeda jauh dengan Jokowi-Ma’ruf Amin jika terpilih karena pemerintahannya akan transformatif dan berorientasi pada kinerja. Pernyataan tersebut berdasarkan pada strategi kampanye, di mana kubu 01 menggunakan strategi positive campaign, dan kubu 02 cenderung menggunakan strategi negaitive campaign. Pada dimensi budaya, jika Jokowi terpilih tidak akan ada benturan dengan otentisitas budaya nasional dan budaya lokal. Namun jika Prabowo yang terpilih akan dapat mengabstrasikan budaya lokal dan nasional sehingga tidak dapat bertahan dari arus besar budaya global.
Dengan negaitive campaign dan banyaknya kebohongan yang dilakukan kubu 02 untuk menjatuhkan lawan politiknya, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang khawatir jika Prabowo Sandi terpilih. Terlebih di belakang mereka ada ormas terlarang HTI dan kelompok Islam radikal serta dukungan dari keluarga cendana. Bayangkan jika keduanya bergabung, antara orde baru dan pro-khilafah, Indonesia akan jadi seperti apa.
Jokowi-Ma’ruf
selama berkampanye lebih menekan pada aspek kerja. Kepemimpinan Jokowi-Maruf adalah
kepemimpinan transformatif yang berorientasi pada kerja untuk menciptakan
perubahan dan transformasi di segala aspek. Strategi kampanye yang memakai
pendekatan kampanye positif mencerminkan pemerintahan Jokowi nantinya
dibangun di atas optimisme dan berpotensi membawa Indonesia pada level kemajuan
yang lebih tinggi, baik di tingkat kawasan maupun dunia.
Selain itu, isu kampanye yang diangkat pasangan Jokowi-Ma’ruf membentuk watak kepemimpinan yang melayani atau servant leadership. Kemudian, partai pendukung Jokowi adalah partai nasionalis yang mengusung wacana atau narasi politik kebangsaan yang berorientasi pada pembangunan integrasi sosial atas dasar empat pilar, yakni Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini akan membentuk kepemimpinan yang nasionalis dan inklusif.
*) Mahasiswa Universitas Negeri Malang