Prabowo, Sang Diktator Titisan Soeharto
Penulis : Grace Septiana*
Pada 21 Juni 1994, Soeharto sebagai Presiden Indonesia saat itu, menutup media Tempo lantaran membuat laporan utama terkait pembelian 39 kapal perang bekas dari Jerman Timur. Laporan tersebut berisi kritik terhadap Soeharto dan Menristek BJ Habibie selaku pejabat yang berhubungan langsung dengan kontrak pembelian kapal perang tersebut. Setelah mengetahui laporan utama tersebut tersebar, Soeharto lantas memerintahkan Departemen Penerangan, selaku lembaga yang mengatur pers, untuk mencabut izin dari media Tempo.
Tempo melalui Goenawan Muhammad, kemudian menempuh jalur hukum dengan menggugat pencabutan izin tersebut melalui pengadilan. Sayangnya, kepemimpinan Soeharto pada orde baru sangat kuat, sehingga tak mungkin ada pihak yang bisa menang jika mengajukan tuntutan terhadapnya. Setelah proses hukum selesai, Seoharto mengutus Hasjim Djojohadikusumo, adik Prabowo untuk menawarkan kesepakatan kepada Tempo. Dalam tawarannya, Hasjim meyakinkan Tempo tetap dapat berjalan dengan syarat Dewan Redaksi serta pemberitaannya harus ditentukan oleh pihak Soeharto. Sebaliknya, jika tidak menerima kesepakatan tersebut, Tempo diancam akan dibubarkan untuk selamanya. Menariknya, Goenawan Muhammad menolak tawaran tersebut sehingga berujung pada pencabutan izin terbit Tempo secara permanen.
Dari kilas sejarah tersebut, dapat dilihat bahwa Soeharto tidak memberikan ruang publik yang bebas kepada media. Setiap pemberitaan yang akan disebarkan tidak boleh menyinggung Soeharto dan jajarannya tetapi harus meningkatkan citra mereka di hadapan publik. Dapat dikatakan, pemberitaan di Indonesia saat itu haruslah sesuai keinginan dari Soeharto. Mencermati sepenggal kisah pembungkaman media tersebut, saya jadi teringat dengan narasi melawan media yang dibangun oleh Prabowo.
Pada tahun lalu, Prabowo menunjukkan sikap yang hampir serupa dengan Soeharto kepada media di Indonesia. Pasalnya, Prabowo murka kepada beberapa media karena tidak memberitakan 11 juta peserta Reuni 212 yang datang ke Monas. Menurutnya, media massa tidak adil dalam menyajikan informasi kepada masyarakat. Bahkan, Prabowo juga menyatakan kekesalannya dengan menuding media sebagai antek orang yang ingin menghancurkan Indonesia.
Kemarahan Prabowo tersebut sekilas sama dengan kemarahan Soeharto kepada Tempo, dimana keduanya memaksa media untuk menyebarkan berita sesuai dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Narasi Prabowo melawan media seolah memerintahkan media untuk menyajikan informasi sesuai dengan kepentingan politiknya khususnya berkaitan dengan Reuni 212 saat itu. Alih-alih mendapat simpati, masyarakat dan media justru melihat pernyataan Prabowo sebagai ancaman terhadap kebebasan dan kemerdekaan pers mengingat penyiaran berita ataupun informasi merupakan hak dari jurnalis yang dilindungi Undang-Undang.
Prabowo, sosok yang bahkan belum menjadi Presiden sudah berani memberi tekanan kepada media. Lebih jauh, saya membayangkan gambaran jika nantinya Prabowo terpilih menjadi Presiden. Tatkala ada pemberitaan yang tidak berkenan, mungkin ia tak sekedar memberikan narasi melawan media tetapi juga membungkam media itu sendiri. Bukan tidak mungkin, ia justru akan memanipulasi media sesuai dengan selera dan kepentingannya sendiri. Rasa-rasanya, tidak terlalu berlebihan untuk menilai Prabowo sebagai diktator titisan Soeharto, bukan?
* Mahasiswa FISIP Universitas Dharma Agung