Presiden Jokowi (Proses) Realisasikan Swasembada Pangan
Ibaratkan anak manja, kalau tidak ada makanan yang tersedia diatas meja, langsung saja menyalahkan Jokowi
Penulis : Ahmad Harris*
“Indonesia ini negara yang kaya dengan sumber daya alam. Tanahnya luas, subur, iklimnya tropis, seharusnya Indonesia bisa swasembada pangan. Namun, karena Jokowi yang memimpin, Indonesia tidak pernah swasembada pangan!” Begitulah ungkapan salah seorang lelaki yang menyalahkan Jokowi dengan janjinya yang -menurutnya- tidak terealisasi. Mungkin seluruh kekurangan negara ini selalu dibebankan sebagai kesalahan Jokowi, termasuk juga masalah pangan yang selama beberapa masa kepemimpinan Presiden sebelumnya pun tidak terpenuhi.
Pandangan tersebut nyatanya dianut oleh banyak masyarakat Indonesia yang tidak mampu melihat ada revolusi pangan yang terjadi saat ini. Ibaratkan anak manja, kalau tidak ada makanan yang tersedia diatas meja, langsung saja menyalahkan Jokowi. Mungkin mereka lupa, bahkan untuk menyajikan makan siang pun, seorang ibu butuh proses mulai dari belanja, mencuci bahan pangan, memotong, memberikan bumbu hingga memasak. Begitu pun Presiden Jokowi dalam mencapai tujuan swasembada pangan, perlu menempuh proses tertentu.
Orang-orang berpikiran dangkal yang serba instan cenderung mengabaikan proses tersebut sehingga tidak mampu melihat bahwa Indonesia saat ini tengah dalam kondisi prima dalam ketahanan pangan. Dalam kajian Global Food Security, Ketahanan pangan Indonesia cenderung membaik dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2017, Indonesia berhasil menempati peringkat ke 69 dengan skor 51,3 dan naik sekitar 0,2 poin dibanding tahun 2016 dengan peringkat 71. Sementara itu, dari sektor pertanian pun, Indonesia juga meningkatkan ekspor setiap tahunnya. Pada tahun 2017, nilai ekspor hasil pertanian naik menjadi US$ 33,05 milliar dari US$ 26,73 pada tahun 2016. Kenaikan ekspor tersebut ditaksir sekitar 24%.
Kenaikan ekspor tersebut dapat dilihat dari pemberhentian impor terhadap beberapa komoditas pangan lain. Salah satunya, bawang merah, yang sejak tahun 2016 sudah tidak pernah impor dari luar. Bahkan, tahun 2017, Indonesia sudah bisa ekspor bawang merah. Begitu juga dengan cabai segar yang sudah swasembada sejak 2016. Komoditas pangan lain seperti ayam, telur, dan kambing pun berkontribusi dalam meningkatnya nilai ekspor Indonesia. Sayangnya, sejumlah prestasi tersebut seolah tertutup dengan opini anak manja yang berharap swasembada pangan dapat dengan instan disajikan oleh seorang Presiden Jokowi.
Tentu sangat menyedihkan, berbagai prestasi Jokowi dalam revolusi pangan dianggap tidak berarti hanya karena swasembada pangan belum dapat dipersembahkan. Padahal, segudang prestasi tersebut juga membutuhkan usaha dan proses dari seorang Presiden Jokowi. Setidaknya, untuk mencapai prestasi bidang pangan tersebut, Presiden Jookwi harus mempelajari dan merevisi sebanyak 291 Permentan, salah satunya terkait pengadaan melalui tender yang digantikan menjadi penunjukkan langsung. Setelah merevisi peraturan tersebut, maka proses pengadaan logistik dapat langsung direalisasikan jauh lebih cepat daripada sebelumnya. Perubahan terhadap berbagai peraturan tersebut juga menyederhanakan birokrasi dan izin pertanian yang semula membutuhkan waktu 3 bulan, dapat diselesaikan dalam kurun waktu 3 jam.
Selain itu, pembangunan infrastruktur juga menjadi faktor kunci berhasilnya Jokowi melakukan revolusi di bidang pangan. Mulai dari pembangunan bendungan, saluran irigasi, teknologi benih hingga mesin-mesin pertanian terus ditingkatkan untuk mendukung revolusi pangan tersebut. Dukungan terhadap pembangunan infrastruktur tersebut tidak pernah terjadi dalam masa kepemimpinan sebelumnya. Sebut saja pada masa pemerintahan SBY selama 10 tahun, bendungan yang berhasil dibangun hanya sejumlah 16 dan sebagian mangkrak. Sementara dalam periode kepemimpinan Jokowi sekitar 4 tahun, jumlahnya hampir menyamai bahkan merehabilitasi bendungan-bendungan mangkrak jaman SBY.
Upaya Jokowi untuk mencapai revolusi pangan tersebut tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi jika menutup kedua mata dan seolah tidak terjadi perkembangan apa-apa. Melalui kinerja Jokowi, swasembada pangan bukan lagi mitos belaka tetapi sesuatu yang dapat direalisasikan. Namun demikian, masyarakat juga harus berusaha untuk merealisasikan swasembada pangan. Setidaknya, masyarakat bisa berusaha melalui dukungan suara pada Pilpres 2019. Memilih Jokowi untuk kelanjutan progress swasembada pangan atau justru memilih kandidat lain untuk memulai swasembada pangan kembali dari nol? Pilihan ada di tangan anda!
*) Mahasiswa FISIP Universitas Dharma Agung