Presiden Jokowi Tunda Pengesahan RUU KUHP
Oleh : Dede Sulaiman )*
Pembahasan RUU KUHP mengundang beragam respon dari masyarakat. Presiden Jokowi mendengar aspirasi tersebut dan bersikap tegas kepada DPR untuk segera menunda pengesahan RUU KUHP tersebut.
Presiden Jokowi bereaksi cepat dan memerintahkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk menyampaikan keputusan ini kepada DPR, agar nantinya pengesahan RUU KUHP dapat ditunda dan pengesahan tidak dilakukan oleh DPR periode ini.
Penundaan pengesahan RUU KUHP tersebut mendapatkan apresiasi dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) karena Mantan Walikota Surakarta tersebut telah mendengarkan aspirasi dari berbagai kalangan.
Langkah yang diambil Jokowi tersebut menjadi tanda bahwa pemerintah tak berjalan sendiri karena tetap mendengar aspirasi masyarakat. Juru Bicara PSI Dini Purwono menyebutkan, Aspirasi penolakan terhadap sejumlah pasal yang kontroversi di RUU KUHP salah satunya datang dari PSI.
Sejak awal PSI juga telah menolak dan memberikan catatan kritis terkait dengan RUU KUHP kepada Presiden. RUU KUHP ini lebih buruk dari KUHP yang sekarang ada. Karena tidak ada satupun pasal dari KUHP lama yang dihapus. Hanya menambah pasal – pasal baru yang blunder dan malah menghidupkan kembali pasal – pasal lama yang bersifat kolonial dan sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Penolakan akan disahkannya RUU KUHP tentu bukanlah tanpa alasan, Dini berpendapat RUU KUHP terkesan mengadopsi secara serampangan terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat dengan memasukkan pasal – pasal terkait pidana adat.
Contohnya pada Pasal 2 ayat (1) RKUHP yang tertulis bahwa hukum yang hidup di masyarakat akan diatur dalam perda. Hal ini akan berdampak pada munculnya perda – perda diskriminatif dan intoleran di seluruh Indonesia.
Meski demikian tak bijak jika kita hanya menimbang belasan pasal dari 628 pasal dalam RUU KUHP, katakanlah ada belasan pasal yang kontroversial, lalu apakah RUU KUHP yang sudah dikaji, dibahas, dan dikerjakan sejak tahun 1982 tersebut harus dibatalkan atau ditunda lagi.
Bagaimana jika RUU KUHP tetap disahkan, sementara belasan pasal yang kontroversi dicabut dan dibahas ulang kemudian dijadikan Perpu misalnya, atau dibahas ulang kemudian dimasukkan dalam revisi berikutnya? Karena bagaimanapun revisi KUHP tentu ada perlunya, karena undang – undang memang harus mengikuti perkembangan zaman.
Lantas apakah benar kita telah memahami secara detail pasal – pasal kontroversial RUU KUHP tadi? Misalnya terkait penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Dimana terdapat pasal yang menyatakan penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme bisa dipidana paling lama 4 tahun, hal tersebut tertuang dalam RUU KUHP pasal 188 ayat 1, tetapi tidak bisa menjadi Pidana jika orang tersebut melakukan kajian untuk tujuan keilmuan.
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, bahwa mereka sepakat menunda Rancangan Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Lembaga Permasyarakatan. Hasil didapat setelah mengadakan lobi – lobi.
Dirinya juga menegaskan bahwa 2 RUU ditunda sesuai dengan permintaan Jokowi terkait dengan pertanahan dan minerba, dimana keduanya masih dalam pembahasan di tingkat I dan belum masuk dalam tahap pengambilan keputusan.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) menilai langkah presiden yang langsung bersikap atas tuntutan mahasiswa saat ini sudah tegas.
Saat ini tinggal DPR yang tidak berlarut – larut. Tinggal nanti semua elemen bangsa yang terlibat dalam mengawal pembahasan pada periode DPR yang akan datang.
Demonstrasi dengan sikap gegabah yang terkesan asal nge-gas tentu juga kurang sedap dipandang, dalam menyikapi sesuatu tentu kita jangan sampai kebakaran jenggot. Perlu kita ketahui bahwa jika RUU KUHP disahkan, aturannya tidak otomatis berlaku, namun baru berlaku 2 tahun setelah disahkannya RUU tersebut.
Artinya masih ada waktu untuk memperbaikinya, misalnya dengan judicial review atau constitutional review, bahkan dapat direvisi kembali sebelum berlaku secara efektif.
Meski demikian, Jokowi tetap membuka telinga dan mendengar aspirasi rakyatnya, sehingga revisi KUHP harus di tunda agar dapat dikaji kembali.
Penundaan atas pembahasan RUU KUHP tersebut tentu menjadi point tersendiri dimana pemerintah tidak anti kritik, selain itu DPR juga bisa mendapatkan masukan – masukan dengan substansi yang lebih baik sesuai keinginan rakyat.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik