Provokasi Narasi Kecurangan Sebuah Desain Upaya Deligitimasi Pemilu
Oleh : Risa Nasution )*
Penyelenggaraan Pemilu 2019 yang berlangsung lancar dan aman hingga saat ini perlu terus dikawal dan dijaga. Proses rekapitulasi suara hasil Pemilu yang dilakukan KPU pun masih terus dilakukan hingga selesai untuk menetapkan para wakil rakyat serta presiden dan wakil presiden lima tahun ke depan. Moment besar Pemilu yang terjadi tahun ini terasa sangat dinamis dan seru, hingga hubungan persaudaraan dan pertemanan yang terjalin puluhan tahun bisa menjadi retak dan hambar karena pertarungan pasangan politik yang didukungnya begitu keras dan masing-masing orang membela kandidatnya dalam pemilihan umum 2019 ini bahkan tanpa rasional sekalipun. Terlebih jika di bumbui dan dikompori dengan berita-berita hoax dan fitnah.
Disaat semua unsur keterwakilan masyarakat tengah berupaya mensukseskan jalannya pemilu 2019 tapi, ada saja pihak yang dalam kapasitas tidak jelas mengeluarkan sesumbar. Dari mengatakan aneka bentuk kecurangan hingga ujaran yang mengarah pada ancaman untuk menggerakkan massa menolak hasil pemilu. Anehnya, gertak atas nama people power sebagai salah satu bentuk gerakan ekstra parlementer itu hanya ditujukan pada pemilihan presiden. Dimana jika incumbent dinyatakan menang,maka pihak lawan yang dalam hal ini diwakili oleh salah satu tim sukses senior konon akan mengerahkan kekuatan ekstra parlementer. Terkesaan kondisi ini menyimpulkan bahwa terdapat pihak yang tidak siap kalah, dan KPU selalu salah di mata yang kalah.
Narasi kecurangan itu memang sengaja diciptakan sebelum dan saat pencoblosan, tujuannya sangat jelas, dan itu bagian dari “skenario” untuk mendelegitimasi hasil akhir perhitungan suara dari KPU. Poin nya dari dihembuskannya kecurangan secara berulang-ulang, untuk menanamkan ingatan kepada masyarakat bahwa KPU curang. Dengan begitu, ketika hasil akhir perhitungan suara diumumkan KPU, dan menyatakan Jokowi-Ma’ruf sebagai pemenang, maka kubu 02 dengan serta merta akan menolaknya, begitu juga para pendukungnya. Stigma KPU curang sudah melekat dalam ingatan mereka, atas alasan itu pula mereka menolak. Itulah point of interest yang sebenarnya.
Alasan tidak bisa menerima hasil Quick Count berbagai lembaga survei, hanyalah sebagai upaya untuk memberikan stigma negatif pada lembaga survei, itupun bagian dari skenario besar untuk menolak hasil Pemilu Presiden. Narasi kecurangan tersebut tidak saja dialamatkan kepada KPU, tapi juga kepada berbagai lembaga survei, dengan memberikan stempel sebagai lembaga survei yang dibayar. Secara rasional, kalau benar seperti itu berapa banyak kocek yang harus dikeluarkan untuk membayar lembaga survei yang segitu banyak.
Apakah kubu 02 tidak membayar lembaga survei untuk hasil survei internal mereka? Atas dasar tujuan menolak hasil akhir perhitungan suara KPU. Kesalahan meng-input data oleh KPU, tidak cuma merugikan kubu 02, tapi juga kubu 01. Kedua kubu mempunyai peluang yang sama untuk dianggap berbuat kecurangan dan dicurangi. Kubu 02 sebetulnya sudah tahu hal itu, hanya saja karena punya kepentingan untuk menolak hasil akhir KPU, maka diciptakanlah Narasi kecurangan secara terus menerus hingga tujuannya berhasil yaitu agar isu kecurangan yang terus menerus dilakukan tersebut menjadi sebuah kebenaran apalagi kalau di bungkus dan diserta dengan balutan-balutan isu sensitif.
Kesalahan meng-input data C1 berdasarkan keterangan Komisioner KPU Wahyu Setiawan, dari formulir C1 ke situs Situng terjadi di sembilan TPS saja, bandingkan dengan jumlah TPS yang ada, yaitu sebanyak 813.350. Jadi sangat wajar kalau kita berasumsi bahwa Narasi kecurangan ini adalah bagian dari skenario besar untuk mendelegitimasi KPU, sekaligus mendelegitimasi Pemilu Presiden 2019. Inilah skenario kalah yang akan dilakukan kubu 02 jika kalah dalam Real Count KPU. Potensi negatif bisa dikurangi jika semua pihak sejak saat ini bersiap menyikapai segala hal dengan kepala dingin dan mempercayai lembaga-lembaga resmi yang memiliki kewenangan. Indonesia adalah negara hukum. Apapun masalah yang bertentangan dengan rasa keadilan bisa diselesaikan dalam ranah hukum. Dan, pada setiap pemilu, ruang untuk mengajukan gugatan hukum sangat diberikan tempat. Semoga semua pihak bisa menegakkan supremasi hukum dengan bijak.
Hadirnya potensi delegitimasi Pemilu 2019 baik terhadap penyelenggara KPU maupun terhadap hasil resmi Pemilu 2019, dapat dilihat dari berbagai pernyataan dan narasi yang dibangun serta dikondisikan sebelum dan pasca pencoblosan oleh pihak-pihak yang tidak siap kalah dan hanya mau menang sendiri, seperti salah satunya kemunculan tagar “INAelectionobserverSOS” atau “Indonesiacallsobserver, maupun baru-baru ini #JanganCurangiIndonesia yang dimunculkan oleh kubu politik 02 guna mengisyaratkan adanya kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia, agar dunia internasional dapat ikut memantau dan menekan penyelenggara Pemilu di Indonesia yang dianggap tidak demokratis dan sarat praktik kecurangan .Selain mencoba membentuk persepsi publik, viralnya tagar tersebut juga bermaksud membentuk dan memprovokasi gerakan masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk menggugat hasil pemilu nantinya. Hal ini terlihat dan bisa dirasakan sebelumnya terkait dengan beberapa statement tokoh-tokoh politik tertentu yang terus membangun upaya delegitimasi melalui narasi negatif, hoax dan provokatif jika calonnya kalah. Kebanyakan hal itu memang dilakukan oleh pihak oposisi.
Untuk Itu masyarakat harus cerdas dan tidak mudah diprovokasi, kita harus selamatkan demokrasi yang suasai dengan konstitusional, agar oknum-oknum yang ingin memecah bangsa serta ingin berkusa dengan cara inskontitusional tidak dapat mencapai tujuannya. Kita semua harus mendukung hasil Pemilu 2019 yang legitimate berdasarkan konstitusional demi melanjutkan pembangunan nasional dan menjaga tetap utuhnya persatuan nasional.
)* Penulis adalah Blogger-Mahasiswi IPB