Putusan MK Berpotensi Timbulkan Keresahan Sosial, Perlu Dimitigasi
Jakarta – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat capres-cawapres menimbulkan tanggapan negatif dari masyarakat luas. Langkah mitigasi perlu diambil agar keputusan tersebut tidak berdampak lebih jauh dan mengakibatkan keresahan sosial.
Sebagaimana diketahui, pada Senin, 16 Oktober 2023, MK memutuskan bahwa individu yang sedang atau telah pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara yang terpilih melalui pemilu, dapat diajukan sebagai calon presiden atau wakil presiden, meskipun usianya belum mencapai 40 tahun.
Pemerhati isu-isu strategis dan global, Prof Dubes Imron Cotan, berpendapat bahwa putusan MK tersebut telah memicu banyak reaksi negatif dari masyarakat. Salah satu contohnya adalah dikeluarkannya Maklumat Juanda yang ditandatangani oleh lebih dari 200 tokoh, baik dari spektrum pendukung Presiden Jokowi maupun dari spektrum anti-Presiden Jokowi. Kedua kelompok tersebut bersatu mengecam putusan MK.
“Ini berpotensi menimbulkan keresahan sosial. Jika itu terjadi, kita bisa mundur dari upaya kita menuju Indonesia Emas 2045,” ujar Imron dalam webinar nasional Moya Institute pada Selasa, 17 Oktober 2023.
Imron menyarankan beberapa langkah mitigasi. Pertama, Presiden Jokowi sebaiknya tidak merestui Gibran maju sebagai cawapres, sebagai wujud dari sifat kenegarawanan. Kedua, Gibran menyatakan ketidaksediaannya karena kesadaran bahwa ia masih perlu menyiapkan diri lebih matang lagi.
“Yang bersangkutan punya potensi besar. Jadi, jika Gibran menyatakan ketidaksediaannya karena dia masih pemula, kekhawatiran atas masalah yang kita hadapi bisa dihindari,” kata Imron.
Langkah mitigasi ketiga, menurutnya, adalah Koalisi Indonesia Maju (KIM) mengambil keputusan untuk mrncalonkan Gibran, karena para parpol yang tergabung dalam koalisi tersebut tidak mampu mencapai konsensus. Diperkirakan tidak semua pimpinan parpol anggota KIM sepakat mengusung Gibran.
Hendardi, Ketua Badan Pengurus Setara Institute, mengatakan bahwa MK sedang mendemonstrasikan suatu “kejahatan konstitusional”. Menurutnya, MK tidak lagi menegakkan konstitusi, tetapi mengakomodasi aspirasi aktor-aktor politik dalam keputusannya.
“Bukannya menjadi wasit yang adil dalam memeriksa perkara yang muncul, MK malah membuka diri untuk dipolitisasi dan mengakomodasi kepentingan politik, terutama yang berkaitan dengan aktor penguasa,” ujar Hendardi.
Hendardi menilai bahwa MK telah mencapai titik integritas terendah dalam 20 tahun terakhir. Bahkan, ini merupakan kali pertama hakim MK menyatakan ketidaksetujuannya secara terbuka dan tajam, seperti yang ditunjukkan oleh Saldi Isra dan tiga hakim lain, yang menyebutkan adanya irasionalitas dalam putusan MK setelah Ketua MK, yang juga adik ipar Jokowi, terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
“Tidak perlu analisis rumit untuk menyimpulkan bahwa putusan MK ini dibuat demi Gibran yang meneruskan jejak politik ayahnya. Tidak ada presiden yang seaktif Presiden Jokowi dalam menyiapkan penggantinya selain Jokowi. Hal ini disebabkan bukan hanya oleh nafsu berkuasa, tetapi juga kecemasan Jokowi terhadap warisan buruk di banyak sektor,” ujar Hendardi.
Sirajudin Abbas, Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), berpendapat bahwa putusan MK ini berpotensi menjadi jebakan baik bagi Gibran, maupun Presiden Jokowi karena mengusung gerakan yang anti-reformasi. Yang dikhawatirkan, menurutnya, adalah Jokowi yang tampak terlalu terbuka terhadap jebakan tersebut dengan mengindikasikan keterlibatannya dalam cawe-cawe pilpres.
“Semua tahu, sebagai eksekutif, presiden tidak boleh campur tangan dalam urusan yudikatif. Namun, semua juga menyadari bahwa MK saat ini cenderung berpihak pada partisipasi politik. MK menggunakan kekuatannya untuk mendukung kelompok politik tertentu, dalam hal ini memberi kesempatan bagi Gibran untuk menjadi cawapres Prabowo,” kata Sirajudin.
Sirajudin melihat adanya resistensi yang kuat di masyarakat. Menurutnya, gerakan moral yang muncul saat ini bisa memicu gerakan sosial yang lebih besar. “Bisa jadi gerakan mahasiswa yang menolak nepotisme muncul kembali seperti pada era Reformasi dulu. Besarnya gerakan ini sulit diprediksi, tetapi berpotensi meredusir tingkat ketidakpercayaan publik,” ujarnya.
Prof. Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, mengatakan bahwa putusan MK meningkatkan apatisme masyarakat terhadap masalah-masalah kebangsaan. Menurutnya, masyarakat mulai menggunakan istilah ‘sak karepmu’ untuk menggambarkan manuver-manuver politik elit saat ini. “Situasi seperti ini berisiko. Ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi, dan dalam jangka panjang, merugikan bagi Indonesia,” ujarnya. Mu’ti berharap resistensi tidak semakin meluas dan berubah menjadi gerakan yang tidak terkendali.
Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto, mengatakan bahwa keputusan MK telah mengabaikan nilai-nilai demokrasi demi kepentingan politik jangka pendek. Keputusan ini berpotensi mempengaruhi pandangan positif publik terhadap integritas MK dan pemerintah.