Radikalisme di Kampus Menjadi Tanggung Jawab Bersama
Oleh : Rahmat Gunawan *)
Indonesia kembali dikejutkan dengan penangkapan seorang mahasiswa terkait kasus terorisme disalah satu perguruan tinggi di Malang, Jawa Timur. Kejadian ini menunjukkan bahwa infiltrasi ideologi radikal-terorisme tidak mengenal status dan tingkat pendidikan, bahkan hal tersebut telah lama masuk ke dalam sektor pendidikan dsn diabaikan oleh lembaga pendidikan.
Penulis menyayangkan peristiwa tersebut bisa terjadi, karena sejatinya semua pihak bertanggung jawab atas terjadinya radikalisme di lingkungan kampus dan upaya pembenahannya tidak boleh dibebankan hanya kepada pihak kampus semata, akan tetapi kepaada institusi pendidikan secara keseluruhan.
Senada dengan penulis, Darmaningtyas, seorang pengamat pendidikan nasional mengatakan radikalisme yang terjadi bukan semata-mata tanggung jawab pihak kampus saja, namun institusi pendidikan mulai dari SMP dan SMA juga turut bertanggung jawab. Jika doktrin di SMP dan SMA sudah kuat, tentu saja ketika menjadi mahasiswa mereka tidak akan tergoyahkan dengan mudah.
Penulis menyayangkan jika ada institusi perguruan tinggi yang meremehkan masalah radikalisme di lingkungan kampus karena sikap tersebut akan membuat dengan mudahnya para mahasiswa terpengaruh oleh pandangan-pandangan radikal tanpa disadari. Pada dasarnya kunci utama mengurai persoalan radikalisme di kampus adalah bagaimana mewujudkan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila agar terimplementasi dengan baik.
Untuk mencapai hal tersebut, tentunya perlu dibuat suatu kebijakan guna menangani faham radikal dalam bentuk counter wacana. Kampus perlu lebih menggalakkan upaya untuk memperkenalkan ideologi Pancasila secara nyata kepada siswanya dan mengimplementasikan ideologi Pancasila secara nyata, sehingga mahasiswa tidak lagi bermimpi tentang ideologi lainnya, karena Pancasila sudah dianggap dapat memberikan jawaban atas apa yg mereka inginkan.
Dari sudut pandang penulis, ada upaya konkret yang bisa dilakukan segenap institusi pendidikan, mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi. Hal itu guna membangun institusi pendidikan yang nyaman untuk mengembangkan sikap moderat dan toleran serta menumbuhkan nilai toleransi sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Upaya-upaya tersebut dapat berupa pengembangkan kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga yang dapat membangun kebersamaan, karena sikap tertutup dan enggan bersosialisasi akan mudah dipengaruhi oleh pemikiran radikal.
Selain itu, penulis juga berharap ada upaya serius dari Pemerintah dalam merespon kasus radikalisme di lingkungan pendidikan agar tidak semakin berlarut. Misalnya asistensi pendidikan Pancasila didahulukan dan digalakkan di awal semester dan memindahkan jadwal asistensi pendidikan agama Islam menjadi semester belakang.
Tentunya hal tersebut akan membuat mahasiswa dibekali dengan pandangan-pandangan yang lebih rasional terlebih dahulu, sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh pandangan-pandangan yang berkecenderungan fundamentalis. Dengan demikian, diharapkan mahasiswa memiliki ideologi Pancasila yang kuat sehingga tidak mudah terpengaruh dan kasus radikalisme yang terjadi di kampus akan teratasi.
*Penulis adalah kontributor Bunda Mulia Institute