Referendum Tidak Relevan Selesaikan Masalah Papua
Oleh : Rebecca Marian )*
Seiring dengan kerusuhan di Manokwari Papua Barat, tuntutan referendum Papua juga menguat. Pendukung agenda Papua Merdeka memanfatkan momentum ini untuk menggalang dukungan. Padahal, penentuan pendapat sudah pernah dilakukan dan referendum tidak serta merta menyelesaikan masalah Papua.
Tercatat pada 1 Mei 1963. Indonesia menunjukkan kesungguhan memiliki Papua dengan harga yang mahal, dengan perjuangan, darah dan nyawa. Kala itu Indonesia harus mengerahkan kekuatan militernya melalui penerjunan Airborne Trikora terbesar hingga operasi amfibi terbesar di Indonesia.
Tergambar sudah bahwa untuk mendapatkan Papua, ada upaya milter dan ratusan nyawa lepas dari jasadnya di hutan belantara, rawa – rawa papua, sampai pada tengah lautan.
Dengan adanya penyeragaman harga BBM di Papua, artinya Indonesia telah mensubsidi sedemikian banyaknya kepada Papua. Namun berbagai upaya separatis hingga berita hoax yang tersiar di media sosial mengatakan yang sebaliknya, NKRI dikambinghitamkan sebagai perampas kekayaan alam Papua.
Kampanye itulah yang digencarkan oleh mereka yang ingin merebut papua dari pangkuan Nusantara, upaya provokasi tersebut juga dijadikan nilai jual mereka untuk mendapatkan simpati dari negara asing.
Lalu apa jaminan terkait kesejahteraan jika Papua memilih untuk berpisah. Tentu bisa dibayangkan, jika Papua mengikuti arah pemikiran kaum pro disintegrasi yang mengejar kekuasaan pribad, jika mereka memilih lepas dari NKRI mungkinkan Papua akan mendapatkan pemenuhan suplai kebutuhan dalam negerinya?
Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto mengungkapkan bahwa Papua selalu menjadi perhatian Presiden Jokowi. Ditambah lagi dengan subsidi untuk wilayah tersebut diberikan lebih besar dari penghargaan yang diberikan PT Freeport. Dari Sektor ekonomi juga banyak mengira bahwa Indonesia yang mengambil sumber daya alam (SDA).
Selain itu mantan anggota separatis kelompok bersenjata, Telangga Gire, akhirnya memutuskan untuk kembali menjadi warga negara Indonesia. Keputusan itu sudah bulat lantaran Telangga sudah muak dengan omong kosong atasannya Goliath Tabuni. Dia mengaku kerap dibuai dengan kemerdekaan Papua dan jabatan semu.
Telangga menyatakan kembali ke NKRI bersama empat rekannya pengikut Goliath. Dia mengatakan, bertahun – tahun hidup menderita di hutan. Tak cukup logistik dan prasarana. Mereka harus terus kepanasan, kedinginan, kehujanan dan kelaparan.
Asupan gizi harian hanyalah petatas dan keladi yang diambil dari kebun warga. Padahal di sisi lain, dia melihat pembangunan di kampung – kampung dan di kota – kota wilayah Papua semakin maju dan warga di sana berangsur hidup sejahtera.
Ia juga berpikir bahwa anak – anaknya harus sekolah agar nanti hidupnya menjadi lebih baik, oleh karena itu Telangga memutuskan untuk kembali memeluk Merah Putih. Bersama dengan beberapa rekannya yang juga menjadi pengikut Goliat, mereka berikrar untuk bekerja baik agar mengurus anak – anak menjadi orang yang berhasil.
Tak hanya itu, Telangga juga menghimbau kepada seluruh rekan yang masih di hutan, agar kembali ke pangkuan NKRI dan bisa hidup norma sebagai masyarakat warga Negara Indonesia. Menurut dia, apa yang diperjuangkan selama ini hanya mimpi – mimpi kosong dan menyusahkan keturunan.
Sementara itu Bupati Puja juga melaksanakan upacara penerimaan warga dengan mengundang warga Mulia, Puncak Jaya. Ia juga berjanji akan menyalurkan pekerjaan serta membangun rumah untuk anggota KKSB yang bersedia menyerahkan diri kembali ke Pangkuan NKRI.
Hal tersebut tentu menunjukkan bahwa Kemerdekaan Papua hanya menjanjikan kebahagiaan semu, sehingga tak ada jaminan kesejahteraan sedikitpun bagi warga Papua yang memilih untuk menjadi simpatisan kelompok separatis di Papua.
)* Penulis adalah mahasiswi Papua tinggal di Jakarta