Reuni 212 Hanya Permainan Elit Politik
Oleh : Ahmad Pahlevi )*
Persaudaraan Alumni (PA) 212 berencana melakukan reuni 212 pada 2 Desember 2019. Acara tersebut disinyalir hanya bagian dari permainan elit politik untuk mencari panggung mengingat kasus penistaan agama oleh Ahok telah berakhir.
Gerakan 212 bermula atas interpretasi ucapan Ahok terhadap surat Al-Maidah ayat 51 yang dianggap oleh beberapa umat muslim sebagai sebuah pernyataan yang menistakan agama dan mendapatkan protes keras dari berbagai organisasi Islam di tanah air. Namun faktanya, acara kumpul-kumpul tersebut selalu diselenggarakan setiap tahun. Lantas apa urgensinya ?
Seperti halnya hukum kimia, ada aksi tentu ada reaksi, hal tersebut dibuktikan dengan adanya gerakan longmarch oleh massa umat muslim pada hari jumat tanggal 14 Oktober 2016 di Jakarta.
Namun aksi protes yang disampaikan oleh massa dari berbagai ormas tersebut tidak berhenti sampai hari itu saja, Tersiar kabar akan ada aksi lanjutan dengan jumlah massa yang lebih besar. Hingga Polda Metro Jaya dan TNI mempersiapkan 7.000 personel gabungan untuk mengamankan aksi tersebut.
Fenomena tersebut tentu saja melahirkan tanda tanya, apakah hal tersebut menggambarkan sebuah karakter dan etika agama Islam yang sebenarnya dalam kehidupan terhadap pihak-pihak dari agama selain Islam.
Padahal pada hakikatnya Islam adalah agama yang adil, bijaksana, menghormati akal pikir dan harkat martabat manusia. Islam juga sangat melarang perbuatan dzalim bahkan dalam masa perang sekalipun.
Sejarah Islam mencatat, pada 630 Masehi, ketika itu Nabi Muhammad SAW menaklukan kota Mekkah atas kaum Quraisy, ketika itu Rasulullah mempunyai kekuasaan atas kehidupan dan kematian para petinggi Quraisy yang kalah dalam peperangan,namun para petinggi Quraisy tersebut dimerdekakan hidupnya oleh Rasulullah SAW.
Hal tersebut tentu dapat dijadikan sebuah contoh, dimana Rasulullah SAW telah menunjukkan nilai-nilai budi pekerti dan kemanusiaan, dimana dalam Agama Islam hal tersebut dipandang secara terhormat keberadaannya.
Perlakuan dan aturan dalam peperangan Islam pun menjunjung tinggi keberadaan manusia baik hak dan martabatnya walaupun secara aqidah berbeda.
Lantas bagaimana dengan gerakan 212 yang berjilid-jilid itu, bahkan sampai melahirkan Persaudaraan Alumni 212 yang menjadi event organizer acara tersebut.
Hanya karena 1 orang yang dianggap menistakan agama, ribuan orang datang untuk membenamkannya ke dalam penjara. Tentu saja hal tersebut sangat sarat akan kepentingan politik, apalagi salah satu ormas yang menjadi simpatisan reuni 212 FPI, memiliki bidang yang berkaitan dengan khilafah dan memiliki cita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah.
Tentu saja gerakan 212 bisa dibilang sebagai permainan elit politik, dimana mereka memainkan emosi dan mereka memberikan doktrin bahwa gerakan tersebut adalah suci.
Reuni 212 seakan menjadi fenomena atmosfer keagamaan di Indonesia. Dimana rada keimanan yang besar bisa juga membuat beberapa orang tergelincir dalam pusaran politik. Gelombang fanatisme pun memuncak, hingga yang paling parah adalah ingin menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah.
Sementara itu, kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menilai, tak perlu lagi ada gerakan-gerakan massa, seperti reuni 212 pada 2 Desember 2019. Alasannya, saat ini suasana masyarakat sudah normal.
Menurutnya, Jika aksi reuni 212 dilakukan maka akan menimbulkan kemacetan karena adanya penutupan jalan. Dirinya menilai bahwa hal itu tidak seharusnya terjadi.
Moeldoko berharap agar aksi-aksi seperti reuni 212 tidak diadakan lagi. Ia meyakini, bahwa masyarakat sudah menginginkan suasana yang tenang dalam menjalankan aktifitas sehari-hari.
Pada Kesempatan Berbeda, cendekiawan Muslim Alwi Shihab menuturkan sejumlah elite politik yang ada dalam pusaran reuni 212 saat itu berusaha menggerakkan masyarakat ekonomi kelas menengah dan bawah untuk berupaya menggulingkan pemerintah yang sah dengan cara-cara serupa yang digunakan organisasi seperti Hizbut Tahrir di Suriah.
Salah satu strategi yang digunakan adalah, menggandeng para pemimpin agama, termasuk para habib, hal tersebut bertujuan untuk meyakinkan masyarakat bahwa gerakan tersebut berdasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam.
Ketua Presidium PA 212 Slamet Maarif menyatakan bahwa pihaknya menolak atas pelantikan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Penolakan tersebut didasari dengan keputusan atau hasil dari Ijtima’ ulama IV.
Hal tersebut jelas saja bahwa PA 212 tidak mengakui mekanisme yang telah diperjuangkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga mereka juga termasuk ke dalam pihak yang tidak setuju atas prosesi rekonsiliasi.
Reuni 212 mereka tentu sudah jelas bertujuan untuk menentang sistem pemerintahan di Indonesia, mereka sangatlah minim pondasi jika mengatasnamakan jihad untuk NKRI, justru yang ada mereka berjuang untuk memuaskan ego politik kelompoknya sendiri.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik