Reuni 212 Kental Nuansa Politis
Oleh : Ismail )*
Meski telah berkali-kali diserukan bahwa reuni 212 bukan ajang politik, namun reuni 212 tahun lalu justru salah satu pihak dari Front Pembela Islam (FPI), menyerukan kepada seluruh aksi masa untuk tidak memilih calon presiden yang didukung oleh partai penista agama. Namun saat ini mereka merasa sakit hati ketika sosok yang dielu-elukan menerima tawaran rekonsiliasi dan menjadi menteri di kabinet Indonesia Maju. Tidak berlebihan jika Reuni 212 dianggap sebagai kegiatan yang kental dengan nuansa Politis.
Tahun 2018, Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) yang saat ini berada di Arab Saudi, Habib Rizieq berkomentar tentang Reuni 212. Kalimat yang dilontarkan oleh Habib Rizieq melalui rekaman audio yang direkam dari Mekkah, Arab Saudi kurang lebih seperti ini. ‘Kami nyatakan tanpa keraguan di acara reuni mujahid 212 ini bahwa pada pilpres 2019 haram memilih capres dan caleg yang didukung partai-partai penista agama, partai anti syariat. Kalimat tersebut juga diulang-ulang.
Jelas kita tahu bahwa apa yang disampaikan oleh pentolan FPI tersebut adalah salah satu upaya untuk menjatuhkan Jokowi yang saat itu menjadi rival politik Prabowo Subianto, namun sepertinya koar-koar yang dilontarkan oleh Habib Rizieq tidak berpengaruh dan hasil Pilpres tetap dimenangkan oleh Paslon Jokowi Ma’ruf-Amin.
Sebelumnya, Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengatakan demonstrasi ribuan warga Muslim pada 2 Desember 2016 yang menuntut agar mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dipenjara karena dinilai telah menistakan agama, yang kemudian dikenal sebagai ‘gerakan 212’ namun setelah vonis dijatuhkan dan Ahok mendekam didalam penjara, LSI menyebutkan ada trend kenaikan tingkat intoleransi di Indonesia.
Peneliti senior LSI Burhanudin Muhtadi, mengatakan bahwa salah satu penyebab kemunduran demokrasi di Indonesia adalah kebebasan sipil. Salah satu ukurannya yakni apapun latar belakang agama, sosial dan etnik, setiap orang sedianya mendapat peluang yang sama untuk menjadi pejabat publik atau menjalankan hak beribadah, berkeyakinan dan berekspresi.
Burhanudin mengatakan, survei mengenai intoleransi yang melibatkan responden Muslim dan non-muslim. Ada enam pertanyaan diajukan, empat terkait intoleransi politik dan dua lainnya mengenai intoleransi religius kultural.
Pertanyaan tersebut diantaranya adalah, apakah anda keberatan atau tidak keberatan jika non-muslim menjadi presiden, wakil presiden, gubernur, walikota atau bupati. Pertanyaan yang sama juga diajukan kepada responden non-muslim. Pertanyaan terkait intoleransi religius sosial misalnya soal izin mendirikan rumah ibadah bagi Muslim atau non-muslim, perayaan keagamaan di sekitar tempat tinggal anda.
Hasil yang didapatkan adalah. Mayoritas warga muslim 54% tidak merasa keberatan apabila non-muslim mengadakan acara keagamaan di daerah sekitarnya. Tetapi sebagian besar warga muslim 52 persen merasa keberatan kalau orang non-muslim membangun rumah ibadah di sekitar tempat tinggalnya.
Burhanudin juga menambahkan sebanyak 52 persen warga Muslim juga keberatan apabila orang non-muslim menjadi walikota, bupati atau gubernur. Sebanyak 55 persen warga Muslim juga keberatan jika orang non-muslim menjadi wakil presiden. Penolakan ternyata makin besar ketika jabatan yang ditanyakan adalah presiden, dimana 59 persen warga muslim keberatan jika non-muslim menjadi presiden.
Ramalan Burhanudin juga menunjukkan kebenaran, dimana kala itu ia membantah demonstrasi 212 hanya fenomena sesaat dan akan berhenti setelah mantan Gubernur DKI Jakarta masuk penjara. Ia mengatakan justru Tren kenaikan tingkat intoleransi apabila ada warga non-muslim menjadi kepala daerah atau kepala pemerintahan, justru terjadi sejak gerakan 212 yang menuntuk Ahok masuk penjara.
Sehingga, Intoleransi politik terhadap non-muslim terus berlanjut dan efeknya mulai menular ke level sosial. Pihaknya menegaskan bahwa sebelum ada Gerakan 212, tren intoleransi politik dan intoleransi religius sosial sedang turun.
Artinya, gerakan 212 adalah gerakan yang membuka keran terharap meningkatnya intoleransi. Jika memang seperti ini adanya, lantas mengapa reuni 212 masih saja dipelihara?
Mungkinkah gerakan 212 akan minim dari provokasi? Liat saja tahun lalu, apalagi panitia penyelenggara berniat ingin memulangkan pimpinan mereka yang masih tinggal di Arab Saudi.
Jika memang nantinya Habib Rizieq akan mengisi ceramah baik melalui rekaman video ataupun datang secara langsung, tentu bisa dibayangkan, apa yang kira-kira akan disampaikan oleh Rizieq di depan peserta reuni 212, manakah ceramah Habib Rizieq yang teduh dengan nuansa yang menyejukkan, justru yang ada ceramahnya cenderung intoleran terhadap pemerintah dan agama lain.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik