Reuni 212 Mengeksploitasi Anak-Anak
Oleh : Rahmat Kartolo )*
Reuni 212 digelar kembali, acara tersebut seakan menjadi magnet bagi beberapa orang untuk berbondong-bondong memutihkan monas. Namun ada hal yang cukup menjadi perhatian khusus, yakni keterlibatan anak-anak dibawah umur dalam acara tersebut, padahal semestinya mereka berada di sekolah untuk bermain dan belajar bersama teman-temannya, bukan turun ke jalan bersama orang tuanya.
Peserta reuni 212 sudah mulai mendatangi kawasan Monas sejak pukul 19.00 WIB sehari sebelum pelaksanaan reuni atau pada 1 Desember 2019.
Tak sedikit pula peserta reuni yang didapati membawa anak-anak hingga balita dalam kegiatan reuni akbar 212 dalam tahun ini. Padahal, reuni tersebut dilakukan mulai dari dini hari dan kondisi cuaca Jakarta baru saja turun hujan.
Salah seorang wanita berhijab menyatakan bahwa dirinya sengaja datang ke Monas bersama suami dan anaknya yang masih berusia 3 tahun, balita tersebut bernama Rehan.
Rombongan orang tua Rehan tiba di Monas pada pukul 21.45 WIB. Dengan mendorong kereta bayi, wanita bercadar tersebut tiba bersama sejumlah rombongannya yang didominasi oleh kaum hawa.
Dalam rombongan tersebut, terlihat juga seorang anak kecil lainnya yang tengah digendong oleh orangtuanya yang turut serta dalam Reuni 212 tersebut.
Mereka datang dan langsung menuju ke depan panggung utama dan menggelar alas plastik untuk alas sajadah bagi rombongan mereka. Beberapa orang diantara mereka langsung mengibarkan bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid sebagai tanda untuk rombongan lainnya yang masih belum bergabung dengannya.
Reuni tersebutpun masih saja membawa isu yang telah ‘usang’ salah satu orator dalam reuni tersebut mengungkapkan bahwa Indonesia dianggap telah membiarkan para penista ulama atau penista agama. Seperti pada mantan terpidana penistaan Agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Padahal kita semua tahu bahwa Ahok telah diproses secara hukum, ia juga tidak mangkir dalam prosesi sidang, tetapi seakan dendam mereka terhadap sosok Ahok sudah mengakar dengan kuat, bukan tidak mungkin dengan mengajak anak kecil dalam reuni tersebut, justru akan semakin meningkatkan rasa intoleransi terhadap kaum minoritas.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) saja sudah memberikah himbauan agar kegiatan Reuni 212 tidak diselenggarakan kembali pada tahun ini.
Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI, Cholil Nafis mengatakan, Reuni 212 tidak perlu diselenggarakan karena Ahok telah menyelesaikan proses hukumnya.
Ia justru menyarankan agar kegiatan Reuni 212 diganti dengan acara perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW untuk memotivasi masyarakat agar lebih mencintai Rasul.
Tentu saja anak anak-anak yang masih dibawah umur itu tidak mengerti dan memahami apa yang menjadi tuntutan peserta demo tersebut. Hal itu disebabkan karena banyak anak-anak tersebut hanya ikut-ikutan diajak oleh teman atau orang tuanya sendiri.
Padahal demonstrasi besar yang berhasil melengserkan Soeharto pada 1998 saja tidak ada reuni atau perkumpulan alumninya karena tujuan untuk melengserkan Soeharto yang telah 32 tahun berkuasa telah tercapai. Tentu saja tujuan diselenggarakan reuni 212 ini masih dipertanyakan, apakah murni dakwah ataukah ada unsur politik.
Namun apakah etis jika anak-anak berada di situasi-situasi yang bisa saja mengandung unsur kekerasan dan mengancam jiwa, karena acara reuni tersebut diselenggarakan di tempat terbuka dan berada di lautan massa.
Selain itu, kasus anak yang terpisah dari orangtuanya juga terjadi dalam acara tersebut. Orang Tua dan Anaknya tersebut baru tertemu kembali di kantor Pos Polisi Tugu Tani.
KPAI juga telah melakukan pantauan, dimana pihaknya menemukan banyak anak-anak merasa kelelahan saat mengikuti aksi yang berlangsung mulai dini hari hingga bubar siang hari. Raut wajah kelelahan terlihat jelas pada anak-anak itu. Mereka bahkan terpaksa duduk di pinggir jalan bercampur dengan mobil dan bus yang sedang diparkir.
Meskipun dalam pasal 24 UU Nomor 35 tahun 2015 tentang perlindungan anak menyatakan ; Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasannya.
Tentu kita juga harus memahami konteks dari undang-undang tersebut, dimana anak-anak dan pelajar dalam menyampaikan pendapat harus difasilitasi dan berada di ruang yang aman dan nyaman, sehingga pendapat dan pandangan anak tersebut bisa didengar dan dihormati oleh orang dewasa.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik