Reuni 212 Tidak Mendapat Simpati Masyarakat
Oleh : Alfisyah Kumalasari )*
Pelaksanaan reuni akbar 212 pada 2 Desember mendatang masih menuai penolakan. Hal itu menunjukkan bahwa Reuni 212 tidak mendapat apresiasi masyarakat.
Reuni 212 agaknya begitu terjal. Penolakan demi penolakan berdatangan seperti derasnya banjir. Aksi yang dinilai memiliki muatan politis ini disarankan agar tak dilanjutkan. Bukan hanya permasalahan politis saja, Reuni ini dianggap menggaungkan paham khilafah, yang jelas -jelas tak sesuai dengan ideologi Pancasila.
Warga masyarakat kini mulai cerdas dalam menyaring suatu berita, pasalnya mereka telah dapat membedakan kegiatan yang berpotensi memicu kekisruhan seperti Reuni 212 ini. Mereka juga mulai paham apa kira-kira hal yang tengah diusung ormas 212 dalam perhelatan acara tersebut. Tak ayal, massa melancarkan aksi demonya guna menolak seluruh rangkaian acara termasuk menyinggung paham khilafah yang dianut oleh 212.
Menurut laporan, massa yang menamakan diri Gerakan Jaga Indonesia (GJI) ini tiba di Jl Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, pukul 14.39 WIB. Komandan Lapangan (Danlap) GJI, Bramyand Manaloc, yang ada di mobil komando, kemudian menyampaikan orasinya. Ia menyatakan bahwa Indonesia hanya ada Merah putih dan tak ada bendera lainnya yang boleh berkibar, termasuk bendera hitam.
Dia juga meminta agar izin reuni segera dicabut, menolak kepulangan HRS hingga mendukung pembubaran FPI. Dirinya juga mendukung agar Menadagri, Tito Karnavian untuk bersikap tegas. Massa GJI juga mengutarakan alasan yang sama yakni, reuni 212 memiliki muatan politis serta dianggap akan menimbulkan sikap intoleransi.
Dia menambahkan bahwa kehadiran paham khilafah yang diperjuangkan oleh kelompok tertentu lewat politik intoleran dan radikalisme atas nama agama demi mewujudkan NKRI bersyariah, jelas-jelas bertentangan dengan cita-cita Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Maka dari itu, seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali wajib menolak segala bentuk gagasan, cara, dan bentuk perhimpunan apa pun yang beranasir paham khilafah.
Penolakan Reuni 212 juga datang dari Keluarga besar Pondok Pesantren Sunan Kalijaga Gesikan Yogyakarta. Pengasuh Ponpes Sunan Kalijaga Gesikan Yogya Beny Susanto menyatakan meski kemasan acara tersebut bertajuk Munajat dan Maulid Akbar, dirinya memilih untuk absen maupun mengirimkan perwakilan. Beny mengatakan pihaknya merasa ragu dengan motif yang ada di balik aksi tersebut.
Beny tak membantah kemungkinan memang ada sisi positif dan manfaat atau almaslahah wan naf’u dalam aksi reuni 212 itu. Namun dirinya tetap menolak karena lebih melihat ada pertimbangan lain yang lebih maslahah dan bermanfaat. Dirinya mengimbau agar para santri tak perlu menghadiri acara tersebut. Menurutnya yang paling penting ialah, bagaimana lebih utama melakukan munajat dan maulid 2019 di mushola, masjid, pesantren beserta tempat masing-masing.
Ia menegaskan bahwa ada jihad yang lebih utama pasca Pemilu 2019, yakni merajut tali persaudaraan dan persatuan nasional,ukhuwah basyariah serta ukhuwah wathoniyah. Ia mengatakan jika agama-agama lebih mengajarkan sebuah penghargaan terhadap kemanusiaan dan pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa dari pada pemecahan sosial atas dasar kelompok kepentingan, politik dan golongan.
Sebelumnya, reuni 212 ini dicekal karena masih diindikasikan menyelipkan sisi politik didalamnya. Tak hanya telah menyimpang dari niat awal menegakkan keadilan pada kasus penistaan agama. Namun, acara reuni jilid 3 ini ternyata memiliki agenda doa bersama yang isinya masih menyindir perihal kepolitikan. Bukan tak mungkin jika acara yang ngeyel menghadirkan HRS sebagai tokoh sentral ini akan kembali menunjukkan eksistensinya, dengan mengumpulkan masa eks 212 tahun-tahun sebelumnya.
Kiranya penolakan atas pelaksanaan reuni ini benar adanya. Mengingat, sang Imam besar HRS begitu kritis terhadap pemerintahan. Bahkan, sebelumnya berani memprovokasi untuk menggulingkan pemerintahan. Belum lagi masalah lain yang mengiringinya. Sehingga wajar saja massa menolak esensi dari pelaksanaan acara itu. Massa kini juga lebih kritis terhadap hal-hal yang beraroma propaganda-propaganda negatif yang meruncing kearah politik. Padahal, PA 212 telah mengklaim reuni ini murni temu kangen serta bertujuan untuk memperingati Maulid Nabi. Kesan Plin-plan PA 212 ini juga tercermin dalam pernyataan yang menyebutkan tak akan melibatkan tokoh politik, namun tetap akan menghadirkannya untuk meramaikan panggung acara. Tentunya sebagai umat Islam tak mau, dong niat suci agama diselipi politik keduniawian.
)* Penulis adalah pemerhati sosial politik