Warta Strategis

Reuni Aksi 212, Perlukah?

Oleh: Alif Setiobudi )*

 

Aksi 212 tahun lalu berhasil menarik ratusan ribu masyarakat turun ke jalan, aksi itupun menjadi awal aksi-aksi berseri serupa setelahnya. Mengingat tuntutan awal aksi ini, yakni pemenjaraan terhadap Ahok dan pemilihan penolakan terhadap pimpinan Kafir telah ‘terpenuhi’, apakah aksi serupa masih perlu dilakukan?

Pada tanggal yang sama di tahun ini, Presidium Alumni 212 akan melakukan ‘reuni’ 212 yang rencananya dilakukan di Monas. Ketua Presidium Alumni 212, Slamet Maarif mengatakan bahwa aksi ini akan dilakukan dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sekaligus reuni akbar 212 serta diisi dengan kegiatan salat subuh berjamaah, dzikir, tausiah, dan sambutan/ceramah. Namun tak dipungkiri, terdapat beberapa isu utama yang akan dibahas dalam aksi ini, antara lain mengenai reklamasi teluk Jakarta, kasus anggota DPR dari Fraksi Nasional Demokrat, Victor Laiskodat, yang diduga telah melakukan penistaan agama, serta kasus Buni Yani.

Dukungan terhadap reuni 212 ini datang dari Ketua Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI), Chandra Purna Irawan, pihaknya mendukung penuh diadakannya acara tersebut namun demikian tetap taat pada norma dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Senada dengan hal tersebut, KH Abdurrasyid Abdullah Syafii yang merupakan pimpinan Pondok Pesantren Asy Syafi’iyah menyerukan untuk terus merawat energi Al Maidah 51 dan persatuan umat Islam melalui aksi tersebut. Hal serupa juga disampaikan oleh Dewan Syuro FPI Pusat, KH Misbahul Anam yang menyerukan umat Islam untuk terus bersatu, tanpa harus ada penistaan agama.

Namun disisi lain, Ketua Umum PP Muhammadiyah, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, Haedar Nashir menganggap aksi reuni 212 sebagai bentuk aksi yang bersifat kontraproduktif. Dirinya pun memastikan tidak akan hadir dalam aksi tersebut. Menurutnya, hal yang terpenting bagi Indonesia saat ini adalah membangun gerakan kebangsaan. Ia pun menambahkan Muhammadiyah lebih mendukung gerakan yang berimplikasi pada kemajuan.

Mengadakan acara keagamaan seperti ini merupakan hal yang sangat positif dan dapat memperkuat ukhuwah Islamiyah, namun akan sangat kontra produktif apabila aksi ini dilakukan sebagai penggalangan kekuatan untuk menekan pemerintah dan mencapai tujuan politik tertentu, seperti yang disampaikan pengamat politik Karyono Wibowo yang menilai bahwa aksi reuni 212 kental akan aroma politik. Segelintir oknum juga dikhawatirkan akan memanfaatkan momentum tersebut sebagai bahan Pilkada serentak 2018 dan Pemilu nasional pada 2019. Berkaca dari penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, isu agama acapkali digunakan untuk meraih keuntungan politik padahal rawan menimbulkan perpecahan.

Secara objektif, apabila tujuan utama aksi reuni 212 ini merupakan kegiatan keagamaan dan menjaga persatuan bangsa, maka hendaknya dilakukan di tempat-tempat yang relevan, seperti Masjid dan dapat diadakan dimasng-masig daerah. Partisipan hendaknya cerdas dalam menjaga ketertiban dan keamanan selama aksi berlangsung, jangan mudah diprovokasi apalagi diintimidasi. Karena apabila kerusuhan terjadi dalam aksi ini tak pelak justru akan mengganggu ketertiban umum serta jalannya roda pemerintahan, menimbulkan  ‘perpecahan’, bahkan akan sangat menyedihkan apabila menimbulkan sentimen negatif terhadap umat Islam. Mari bersatu dalam semangat kedamaian dan persatuan bangsa Indonesia.

 

)* Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret

 

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih