Revisi UU KPK Adalah Sebuah Keniscayaan
Oleh : Raditya Rahman )*
Perkembangan zaman menuntut penyesuaian terhadap aturan hukum, termasuk UU No 30 Tahun 2002 mengenai KPK. Namun demikian, poin-poin perubahan harus diperhatikan secara seksama agar membawa dampak yang positif.
Meski telah lega akan dipilihnya pimpinan baru KPK. Agaknya perjuangan baru akan dimulai. Aneka penyesuaian terkait kerancuan di badan anti rasuah ini harus mulai ditelusuri dan dibenahi. Tak peduli dengan beragam aral yang siap menghadang. Hal ini tetap dengan satu tujuan, Indonesia sejahtera.
Tak menampik banyaknya isu serta tuduhan miring yang dilayangkan bagi tubuh pembasmi korupsi. Pun dengan orang-orang yang berada didalamnya. Keloyalitasan serta kredibilitasnya kemudian dipertanyakan. Lalu sebetulnya lembaga yang berjalan selama ini terbentuk dari apa, untuk apa, dan bagi siapa?
Sebelumnya, selama tujuh belas tahun perjalanan UU NO 30 Tahun 2002 berkenaan dengan KPK berlangsung. Suasana dulu dengan sekarang tentulah berbeda, karena pasti ada beberapa hal yang belum diatur maupun terpikirkan.
Berbagai dinamika yang ada juga menuntut penyesuaian, tidak terkecuali dengan peraturan perundang-undangan. Bahkan UUD 1945 telah mengalami beberapa revisi. Yang mana disesuaikan dengan perkembangan zaman serta tuntutan masyarakat. Sepanjang perubahan tersebut demi kebaikan maupun penyempurnaan tentunya akan sangat diharapkan.
Sama halnya dengan badan antirasuah satu ini, juga memiliki aneka hal yang belum terpikirkan. Diantaranya ialah, belum adanya SP3, Dewan Pengawas, izin terkait penyadapan, penyidik yang bersifat independen, belum koordinasi dengan lembaga penegak hukum, serta status pegawai KPK.
Ditengarai beberapa akademisi serta LSM banyak menyorot terkait permasalahan ini. Hingga terdapat unsur KPK maupun wadah pegawai KPK ini ikut terbawa arus. Kaitannya dengan menolak adanya revisi UU KPK. Semua terkesan menginginkan “status quo” seperti saat ini. Ada pula saat dimana pimpinan KPK menyatakan pengunduran dirinya. Lucunya pernyataan tersebut diralat sehingga menjadi cuti 2 minggu. Keanehan bersambung saat pimpinan KPK didampingi oleh pegawai KPK menyerahkan mandat kepada Presiden. Namun, tanpa terduga sang ketua KPK terlihat melantik pejabat Eselon I dan II.
Hal ini menunjukkan jika memang di dalam tubuh lembaga antirasuah ini perlu pembaharuan luar dalam. Pemberlakuan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) dalam UU terkait KPK ini sebagai bentuk penghormatan terhadap HAM. Namun dalam pelaksanaannya ternyata masih ada praktik yang tak terselesaikan. Seperti ketidakpastian status akan seseorang yang dituduh tersangka. Harus ada keputusan hukumnya serta masalah lain yang dinilai tak rampung dalam perjalanannya.
Mana ada kasus penangkapan tersangka baru kemudian dicari kesalahannya, hal ini ironi sekali bukan? Sayangnya di KPK tak ada istilah ganti rugi terhadap kasus semacam ini. Yang tersedia hanya ruang Pra Peradilan yang mana jarang digunakan untuk melawan KPK.
Masalah lain timbul saat wacana mengenai keberadaan Dewan pengawas di tubuh KPK. Banyak penentangan terkait hal ini. Beberapa LSM dan lingkungan KPK sendiri seperti alergi. Logikanya jika penjalanan tugas dengan dewan pengawas ini harusnya tak ada ketakutan, karena jika tanpa dewan pengawas malah justru akan mudah dilakukannya “Abuse Of Power. Jadi bisa disimpulkan keberadaan dewan pengawas ini tidak akan mengurangi independensi KPK.
Bahkan Presiden atau Lembaga lain juga memiliki unsur pengawas. Jika menyerahkan pengawasan kepada Masyarakat sama yang dilakukan oleh KPK selama ini, maka akan sulit terkontrol ketika ada kesalahan maupun hal-hal yang berada diluar ketentuan.
Berkenaan dengan pegawai yang bekerja di tubuh KPK, dan terkesan ikut-ikutan menyuarakan penolakan terhadap revisi UU KPK. Status mereka agaknya perlu juga dipertanyakan. Mereka bahkan juga menolak salah satu calon pimpinan KPK. Terkait penolakan revisi UU KPK ini seharusnya mereka tak memiliki kewenangan, karena berada diluar tugas pokok serta fungsi pegawai. Sebagai pegawai ASN haruslah tunduk pada pemimpinnya. Namun tetap tak berkewenangan menentukan siapapun pemimpinnya. Layaknya lembaga lain seperti BPK, MK, DPR juga lembaga tinggi negara lainnya ada baiknya tidak ikut-ikutan beraktifitas diluar kewenangan mereka.
Dengan aneka catatan ini, wajar saja jika revisi dalam UU KPK dilaksanakan. Hal ini juga tercermin pada beberapa elemen masyarakat yang berunjuk rasa dengan keinginan serupa. Agar tubuh KPK lebih kuat dan kokoh dari sebelumnya. Di beberapa negara lain-pun komisi pemberantasan korupsi dibawah naungan Presiden. Sehingga wajar jika KPK merupakan bagian dari salah satu kekuasaan eksekutif yang bernilai independen.
Semoga polemik revisi UU KPK ini segera berakhir. Mengingat, Indonesia sedang berada dalam keadaan darurat korupsi. Harapan kedepan jika revisi telah rampung, maka KPK akan menjadi badan yang berkewenangan penuh untuk memberantas rasuah ini.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik