Polemik Politik

RKUHP Beri Jaminan Kepastian Hukum

Oleh: Dian Ratnasari *)

Wakil Menteri Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej atau yang akrab disapa Eddy menghadiri kegiatan “Kumham Goes to Campus” di Universitas Nusa Cendana (Undana), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Rabu, 02 November 2022 lalu. Kegiatan ini merupakan ajang untuk mensosialisasikan Rancangan Kitab Undang-Undang (RKUHP) sekaligus menjaring aspirasi-aspirasi dari para mahasiswa.

Kegiatan ini juga ikut dihadiri oleh para pejabat setempat yaitu Kepala Kanwil Kemenkumham NTT, Marciana Dominika Jone beserta para Pimpinan Tinggi Pratama, Pejabat Administrator dan Pengawas, Kepala UPT di Kota Kupang, serta sejumlah ASN di lingkungan Kantor Wilayah Kemenkumham NTT.

Eddy menjelaskan bahwa terdapat 3 (tiga) alasan mengapa kita saat ini sangat membutuhkan RKUHP baru. Pertama, KUHP yang sekarang kita gunakan merupakan Undang-Undang Hukum Pidana yang dibuat oleh Kolonial Belanda pada tahun 1800 yang artinya sudah berusia sekitar 222 tahun. KUHP ini mulai diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1918 yang berarti sudah berumur 104 tahun dan sejak Indonesia merdeka, sudah 77 tahun. Hal ini harus segera diperbaharui karena KUHP lama dibuat pada zaman aliran klasik yang masih menggunakan hukum pidana sebagai ajang balas dendam. Seharusnya, orientasi hukum pidana tidak lagi menggunakan keadilan retributif atau balas dendam melainkan berorientasi pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.

Keadilan korektif merupakan pencegahan bagi pelaku kejahatan untuk melakukan tindakan pidana berulang di kemudian hari. Selanjutnya, keadilan restoratif yaitu lebih kepada mengutamakan pemulihan korban dari tindak kejahatan. Sedangkan keadilan rehabilitatif yaitu pelaku kejahatan yang tidak hanya diberikan sanksi namun juga diperbaiki tindakannya. Begitu pula para korban kejahatan yang tidak hanya dipulihkan, tetapi juga direhabilitasi. Melalui paradigma-paradigma modern ini, RKUHP tidak hanya fokus pada mengoreksi perilaku kejahatan, melainkan tetap melihat pemenuhan hak-hak korban kejahatan guna mendukung pemulihannya.

Kedua, Eddy mengatakan bahwa kita harus memiliki KUHP baru untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Secara global, negara-negara di dunia termasuk Indonesia sudah masuk ke dalam era 5.0 yaitu era dimana seluruh tatanan dunia telah berubah dan lebih mengedepankan penggunaan digital dan teknologi informatika. Tentu saja, perkembangan ini belum diakomodasi dalam KUHP yang lama.

Ketiga, lanjutnya, RKUHP perlu disahkan untuk menjamin kepastian hukum di Indonesia. Saat ini, ada lebih dari 1 (satu) terjemahan KUHP yang beredar di masyarakat dan aparat penegak hukum. Namun, dari terjemahan tersebut tidak dapat dipastikan mana yang benar dan sah. Pasalnya, ada perbedaan yang cukup signifikan antara satu terjemahan dengan terjemahan lainnya terkait soal ancaman pidana. Menurutnya, pemerintah harus melakukan harmonisasi dan sinkronisasi terhadap kurang lebih 200 Undang-Undang Sektoral di luar KUHP yang memuat berbagai ancaman pidana dengan berbagai model dan modifikasi agar tidak terjadi disparitas pidana.

Lanjutnya, harmonisasi merupakan 1 dari 5 misi pembaruan hukum yang diusung dalam RKUHP. Selain harmonisasi, terdapat 4 (empat) misi lainnya yakni dekolonialisasi, demokratisasi, konsolidasi, dan modernisasi. Namun demikian, Eddy menambahkan pengesahan RKUHP masih menghadapi sejumlah tantangan mengingat Indonesia merupakan negara multi etnis, multi religi, dan multi culture, sehingga RKUHP harus terlahir dari kumpulan kritik dan masukan dari seluruh elemen masyarakat.

Dengan disahkannya RKUHP baru maka sudah dipastikan akan memberikan kepastian hukum untuk masyarakat. Menurut Eddy Hiariej, RKUHP baru memberikan dasar dalam penyelenggaraan hukum pidana yang lebih baik. Tambahnya, pihak-pihak yang menolak pengesahan RKUHP artinya ingin mempertahankan ketidakpastian hukum. Ia menjelaskan, KUHP peninggalan warisan Belanda (Wetboek van Straftrecht/WvS) yang ditetapkan menjadi Undang-Undang pada 1946 belum pernah memiliki terjemahan resmi dalam bahasa Indonesia.

WvS yang berlaku saat ini masih menggunakan bahasa asli yaitu bahasa Belanda. Terjemahan yang sekarang beredar di masyarakat merupakan terjemahan tidak resmi dari sejumlah pakar hukum pidana seperti versi Moeljatno, versi Andi Hamzah, versi Sunarto Surodibroto, versi R. Susilo, dan versi Badan Pembinaan Hukum Nasional. Eddy menjelaskan, setiap versi terjemahan memiliki perbedaan signifikan sehingga pemahaman dan penerapan hukum pidananya bisa berbeda-beda.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah mada (UGM), Marcus Priyo Gunarto turut mendukung pengesahan RKUHP. Ia menyampaikan keunggulan-keunggulan RKUHP dibandingkan KUHP lama, yaitu adanya nilai-nilai keseimbangan antara kepentingan umum (negara) dan kepentingan individu, antara perlindungan terhadap pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana, antara unsur perbuatan dan sikap baitn, antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat, antara nilai nasional dan universal, serta antara hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia. Marcus menambahkan, akan lebih baik jika pengesahan RKUHP dilaksanakan sebelum akhir tahun 2022 karena keunggulan-keunggulan tersebut sudah disesuaikan dengan dimensi waktu dan tempat serta kondisi masyarakat saat ini yang telah memasuki era digital.

*)Penulis merupakan Pakar Hukum Pidana dari Persada Institut

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih