Polemik Politik

RKUHP Warisan Masa Depan Bangsa

Oleh: Anggi Amanda

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini dibuat oleh Belanda pada saat menjajah Indonesia. Oleh sebab itu, sangat penting untuk segera mensahkan RKUHP yang merupakan asli buatan Indonesia sebagai warisan masa depan bangsa.

KUHP yang saat ini digunakan oleh aparat penegak hukum dibuat oleh Kolonial Belanda pada tahun 1800 dan mulai diterapkan di Indonesia pada tahun 1918. Kemudian, pada tahun 1958 pemerintah Indonesia mulai melakukan pembaharuan “Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie” atau yang dikenal dengan KUHP.

Perkembangan zaman yang ditandai dengan dimulainya era 5.0 mengharuskan pemerintah untuk melakukan pembaruan tatanan atau aturan hukum yang disesuaikan dengan kondisi terkini. Upaya pemerintah bersama dengan DPR RI melahirkan dan mengesahkan KUHP yang baru telah sesuai dengan nilai-nilai Indonesia dan hilangnya perbedaan kejahatan dengan pelanggaran. Proses panjang selama puluhan tahun ini juga tentunya melibatkan banyak kritik dan masukan dari berbagai kalangan.

Jika pemerintah masih bersikukuh untuk menggunakan KUHP zaman Belanda maka berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan baru terutama soal rasa keadilan karena dinilai tidak relevan dengan keadaan saat ini. Misalnya, tentang ketidakpastian hukum untuk mengadili seseorang. Menurut Juru Bicara sosialisasi RKUHP, Albert Aries menyatakan bahwa dengan perbaruan RKUHP ini maka seorang hakim yang menjatuhkan putusan atau vonis kepada seorang terdakwa mempunyai suatu pertimbangan, yaitu tujuan dan pedoman pemidanaan.

Hal tersebut merupakan sesuatu yang baru karena sebelumnya tidak pernah ada dalam KUHP yang selama ini digunakan di ruang-ruang sidang. Tujuan pemidanaan dalam Pasal 51 dan 52 RKUHP yang tengah disusun memiliki lima target utama. Pertama, mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum. Kedua, memasyarakatkan terpidana dengan pembinaan.

Ketiga, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana. Keempat, memulihkan keseimbangan, menumbuhkan rasa penyesalan, dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Kelima, tujuan pemidanaan tidak dimaksudkan sebagai merendahkan harkat dan martabat manusia.

Selain itu, sebelum mengetok palu, seorang hakim akan menggunakan pedoman pemidanaan yang diatur dalam Pasal 54 Ayat (1). Dalam ketentuannya, seorang hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. Namun, jika keduanya ada pertentangan maka hakim wajib mengutamakan sisi keadilan.

Pada Pasal 54 Ayat (1) tersebut terdapat beberapa poin yang harus dipertimbangkan oleh hakim. Pertama, bentuk kesalahan pelaku, motif dan tujuan tindak pidana, sikap batin pelaku, tindak pidana dilakukan terencana atau tidak, dan cara melakukan tindak pidana. Kedua, sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana, riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku.

Ketiga, pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku dan korban, pemaafan dari pihak keluarga korban atau korban. Keempat, nilai hukum serta keadilan yang hidup dalam masyarakat. Albert Aries menegaskan bahwa KUHP adalah cerminan paling jujur dari peradaban sebuah bangsa. Namun, perdebatan panjang terkait RKUHP masih terus dibahas oleh masyarakat terutama mengenai 14 pasal yang dinilai bermasalah. Tidak hanya para praktisi, akademisi, politikus, hingga masyarakat menengah ke bawah pun ramai memperbincangkan pasal-pasal tersebut.

Di sisi lain, terdapat perbedaan ketentuan pada KUHP kejahatan. Pada KUHP yang lama, tindak kejahatan dianggap lebih parah dibandingkan pelanggaran. Sementara, dalam RKUHP pembedaan keduanya sudah tidak ada dan disebut sebagai tindak pidana. Selain itu, pembaruan lainnya dalam RKUHP adalah perumusan double track system atau dua jalur. Artinya, selain penjatuhan pidana juga ada tindakan yang dikenakan kepada terpidana.

Penerapan double track system dalam RKUHP dinilai sebagai suatu upaya menegakkan keadilan restoratif. Dengan kata lain, penghukuman kepada terdakwa atau orang yang bersalah tidak lagi bersandar pada ajang pembalasan seperti yang diatur dalam RKUHP saat ini.

Pasal kontroversi yang terakhir yaitu Pasal 2 Ayat (1) yang mengatur soal hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law). Pengakuan dan penghormatan terhadap pasal tersebut bukan untuk menghidupkan kembali pengadilan adat, melainkan ditujukan untuk memastikan hukum yang masih hidup di tengah masyarakat.

Presiden Joko Widodo telah memerintahkan para menteri dan kepala badan tertentu untuk menerima berbagai masukan, saran, dan kritik dari elemen masyarakat mengenai RKUHP. Diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi atau pertimbangan pemerintah saat melanjutkan pembahasan bersama DPR RI. terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang RKUHP ini terutama beberapa pasal yang dinilai berpotensi menimbulkan konflik. Hal tersebut bertujuan agar RKUHP yang dihasilkan mewakili aspirasi masyarakat Indonesia sehingga panduan hukum dalam RKUHP yang dilahirkan mewakili rasa keadilan serta menggoreskan warisan yang akan dikenang oleh seluruh masyarakat.

*)Penulis adalah contributor dari Pertiwi Institut

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih