Rohingya, Isu Yang Rawan Politisasi
Sudah beberapa kali organisasi masyarakat, bahkan partai politik berbondong-bondong menyerukan tuntutan agar pemerintah lebih tegas menaggapi krisis Rohingya. Krisis kemanusiaan Rohingya merupakan tragedi yang menyentuh banyak empati dan perhatian dunia, termasuk Indonesia. Sehingga krisis ini dapat menjadi isu yang menarik untuk dipolitisasi.
Sabtu 16 Agustus 2017 lalu, beberapa kelompok masyarakat dan partai politik diantaranya, Gerindra, PKS, dan FPI melakukan unjuk rasa terkait krisis kemanusiaan di Rohingya. Prabowo, Ketua Umum Gerindra mengatakan bahwa bantuan kemanusiaan dari pemerintah Indonesia hanyalah ajang pencitraan dan tidak pernah sampai ke sasaran. Mantan Danjen Kopassus tersbut juga menyerukan bahwa lemahnya tindakan Indonesia ke Myanmar juga disebabkan karena banyaknya hutang Indonesia. Kemudian mereka juga banyak menyerukan bahwa sebagai muslim harus tegas membantu sesama umat muslim serta jangan mau dibohongi pemerintah. Sebelumnya, FPI juga pernah meminta pemerintah memberangkatkan TNI dan Polri memerangi kejahatan kemanusiaan di Myanmar.
Sebetulnya aksi unjuk rasa sah-sah saja dilakukan di Indonesia. Aksi unjuk rasa atau yang sering disebut dengan demonstrasi juga menggambarkan kedewasaan demokrasi. Suara rakyat merupakan unsur utaman demokrasi. Namun yang disayangkan adalah pengambilan sudut pandang dari isi demonstrasi tersebut. Sudut pandang yang diambil adalah isu agama, yang tentunya akan sangat mudah di porovokasi dan di politisasi. Yang juga perlu ditanyakan ialah kenapa demonstrasi seperti itu berulang kali disampaikan, toh juga sudah ada tindakan nyata dari pemerintah Republik Indonesia.
Menanggapi unjuk rasa tersebut, adapula politisi yang tidak sependapat dan mengatakan bahwa terdapat unsur politisasi isu. Anggota Komisi I DPR RI, Charles Honoris mengatakan Pemerintah Jokowi telah melakukan segala upaya yang dimungkinkan untuk menghentikan siklus kekerasan Rohingya. Charles juga berharap agar tidak ada pihak-pihak yang menggunakan cara murahan seperti menunggangi isu rohingya untuk mendegradasi kinerja pemerintah.
Setidaknya hingga akhir pekan ini Pemerintah Republik Indonesia secara resmi telah mengirimkan bantuan kemanusiaan seberat 54 ton kepada etnis Rohingya. Seperti yang dilansir oleh BBC bahwa bantuan Indonesia ke Cox’s Bazar belum sampai ke tangan pengungsi. Namun perlu di garis bawahi bahwa kendala tersebut disebabkan oleh kurangnya koordinasi dari pemerintah Bangladesh sendiri. Menlu Indonesia, Retno Marsudi, menegaskan bahwa barang batuan telah tiba di Bandara Chittagong, Bangladesh, akan tetapi yang sepenuhnya berwenang mengatur distribusi adalah pemerintah Bangladesh. Segala bentuk diplomasi internasional ada regulasi dan etikanya. Indonesia tidak bisa semena-mena mengatur regulasi yang ada.
Sementara itu terkait permintaan invasi militer Indonesia ke Myanmar. Secara hukum internasional hal tersebut jelas tidak bisa dibenarkan. Myanmar merupakan negara yang berdaulat. Terdapat mekanisme hukum internasional yang harus dilalui, misalnya resolusi Dewan Keamanan PBB. Oleh karena itu segala bentuk tindakan Indonesia harus berdasar pada hukum internasional yang berlaku.
Dari semua isu yang dilontarkan demonstran, yang paling perlu diwaspadai adalah pembelokan isu kemanusiaan rohingya ke arah sentimen agama. Berulang kali dalam demonstrasi disuarakan konten-konter berbau agama seperti, ‘‘sebagai muslim, kita jangan mau dibohongi pemerintah’’. Seperti pengalaman sebelumnya, isu keagamaan sangat mudah ‘‘dibakar’’ untuk kepentingan politik. Masyarakat jangan mau terprovokasi dan harus bijaksana menilai dan menyikapi cara-cara politik seperti itu.
Perlu diingat kembali bahwa krisis Rohingya bukan krisis agama, melainkan krisis kemanusiaan. Krisis Rohingya sudah jelas-jelas merupakan tindakan genosida terhadap ‘‘etnis’’ minoritas yang tinggal di rakhine. Bukan hanya muslim, beberapa media juga mengabarkan bahwa penganut Hindu dan Buddha Rohingya pun harus turut meninggalkan rumah dan tinggal di kamp pengungsian.
Bagi beberapa kelompok politis, membawa isu agama barang tentu akan sangat efektif untuk mencari dukungan dalam jumlah yang banyak, khususnya agama Islam, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Dengan berperan seolah sebagai pendukung dan bagian dari kelompok tertentu, para pemangku kepentingan dapat dengan mudah mendapatkan massa dalam jumlah yang besar untuk tujuan politis kedepannya. Perlu diketahui bahwa tahun 2018 beberapa daerah di Indonesia akan melaksanakan Pilkada serentak. Sementara tahun 2019 merupakan tahun terakhir masa jabatan periode pertama Presiden Joko Wiododo, yang artinya akan ada momen Pilpres. Sehingga masyarakat perlu lebih bijaksana menyikapi beberap isu yang dapat dipolitisasi seperti isu Rohingya ini.