RUU Cipta Kerja Akan Membawa Banyak Manfaat
Oleh : Zakaria )*
Konsep penyederhanaan regulasi melalui Omnibus RUU Cipta Kerja dianggap sebagai inovasi yang berani. Kebijakan ini diambil karena banyak membawa manfaat dan mempercepat pemulihan ekonomi di masa pandemi Covid-19.
Salah satu masalah pengusaha dalam menjalankan usahanya adalah sulitnya mengurus izin untuk memulai usaha. Hal ini disinyalir sebagai sebab ketertinggalan Indonesia di sektor ekonomi dari negara-negara serumpun.
Menurut Akademisi Universitas Indonesia (UI) Ima Mayasari, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) hadir sebagai upaya dalam memperbaiki kondisi itu dan memberikan sejumlah manfaat lain bagi para pelaku usaha, khususnya di sektor Usaha, Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Seperti yang diutarakan Ima dalam sebuah diskusi bertajuk peluang dan tantangan UMKM dalam RUU Ciptaker yang diselenggarakan LP2M Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada akhir Agustus lalu.
Kesulitan yang dihadapi oleh para pelaku usaha adalah dari prosedur perizinan yang berbelit-belit dan banyaknya jenis perizinan yang harus dimiliki. Selain itu, membutuhkan waktu yang lama untuk memproses perizinan, serta biaya yang sangat tinggi untuk memulai dan menjalankan usaha di Indonesia.
Peraih gelar doktor hukum UI termuda ini mengatakan, Ketika UMKM ingin membuat perseroan terbatas (PT), maka saat ini setidaknya membutuhkan uang Rp 7,5 juta untuk membayar notaris.
Dirinya membandingkan regulasi saat ini terkait pendirian PT dengan RUU Ciptaker. RUU tersebut memberikan kemudahan bagi UMKM untuk mendirikan PT dengan menghapuskan persyaratan modal Rp 50 juta. Satu orang pelaku UMK saja bisa mendirikan PT.
Selain itu, dalam mendirikan PT tidak memerlukan akta notaris pendirian perusahaan, hanya membutuhkan pernyataan-pernyataan perseroan yang dilakukan secara elektronik dan disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Ima mencontohkan bagaimana Selandia Baru sebagai negara dengan peringkat teratas Ease of Doing Business (EoDB) memudahkan pelaku usaha mengurus perizinannya yang menurutnya sangat simpel. Biaya hampir nol untuk izin memulai usaha dan dari segi waktu sangatlah singkat, tidak sampai satu hari karena dilakukan secara online.
RUU Ciptaker mengarahnya ke sana. Salah satu capaian dari RUU ini adalah basis data tunggal. Artinya, dengan hanya memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) yang diproses secara online, UMKM yang memiliki dampak resiko rendah dapat memulai kegiatan usahanya.
Pendekatan RUU Ciptaker dalam izin berusaha adalah risk based approach alias pendekatan berbasis risiko. Sedangkan selama ini pendekatannya adalah lisence based approach alias pendekatan berbasis izin yang berlapis-lapis, baik level kantor administrasinya, maupun tingkat regulasinya, tanpa melihat besar-kecil kompleksitas dampaknya dan itu dipukul rata untuk semua jenis usaha.
Perizinan usaha berbasis risiko yang menjadi pendekatan RUU Ciptaker ini merupakan proses perizinan berusaha dan proses pengawasan berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha. Pendekatan ini memperketat fungsi pengawasan.
Menurut Ima, transformasi pendekatan izin usaha dalam RUU Cipta Kerja ini perlu diapresiasi, karena terobosan ini merupakan reformasi perizinan dan sebuah terobosan untuk menyesuaikan kondisi bisnis di Indonesia, dengan praktik perizinan usaha di negara-negara maju.
Selain itu, UMKM dimana kegiatan usahanya nyaris tanpa risiko hanya membutuhkan NIB. Adapun bagi UMKM yang tingkat risikonya menengah perlu sertifikasi standar. Sedangkan untuk UMKM dan unit usaha besar yang risiko kegiatan usahanya tinggi diperlukan izin AMDAL.
Tidak hanya sampai disitu saja, RUU Ciptaker juga memberikan dukungan dalam pemberdayaan dan perlindungan UMKM berupa kemitraan insentif dan pembiayaan.
Selain itu, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Desa (BUMD) juga memfasilitasi pembiayaan UMKM, memprioritaskan UMKM dalam pengadaan barang dan jasa, serta memfasilitasi bantuan hukum.
Pada forum yang sama, Sekjen Forum UMKM-Industri Kecil Menengah (IKM) Tangerang Selatan Didi Purwadi menyebut dukungan RUU Cipta Kerja pada UMKM perlu disambut dengan baik dan perlu diberi penekanan. Alasannya, 90% usaha mereka berasal dari sektor UMKM.
Didi yang merupakan pelaku UMKM memberikan saran agar regulasi Upah Minimum (UM) jangan diterapkan pada UMKM. Karena menurutnya, jika UM diterapkan pada UMKM kan terjadi kebangkrutan massal, Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah soal penetapan kriteria dan leveling UMKM yang perlu memperhatikan variabel yang diterapkan oleh negara lain.
Oleh karena itu, RUU Cipta Kerja patut didukung karena dalam regulasi tersebut terdapat regulasi yang memberikan manfaat pada pengusaha maupun pelaku UMKM.
)* Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini