Polemik Politik

Sandiaga Uno dan Politik Dumbing Down

Oleh: Muis Sunarya *)

Demi pencitraan dan popularitas, capres dan cawapres atau tim suksesnya dalam pilpres 2019 ini tampaknya ada yang kerap melakukan segala cara, sekalipun membual dan tak beradab, termasuk dengan praktik politik dumbing down atau pembodohan terhadap publik, sekadar untuk menarik simpati dan menaikkan elektabilitasnya.

Adalah Sandiaga Uno, calon wakil presiden nomor urut 02, misalnya, kerap menyebut istilah tak biasa belakangan ini. Pada awal September lalu, ia melontarkan tempe setipis kartu ATM untuk membahasakan asumsinya yang tak berdasar terhadap kondisi ekonomi sekarang ini yang dibilang lesu dan memperihatinkan. Lantas muncul celetukan tempe saset untuk menggambarkan kondisi serupa.

Selanjutnya, belum lama ini, Sandiaga mengeluarkan istilah politik Teletubbies saat ia bertemu dengan politikus Golkar, Bambang Soesatyo. Keduanya berjumpa di Semarang pada 24 September. Politik Teletubbies ini untuk menyebut kampanye yang damai dan bersahabat meski dengan lawan politik.

Bahkan, sebelumnya juga sempat viral pernyataan Sandiaga Uno tentang uang Rp 100.000 cuma dapat (bisa beli) bawang dan cabai.

Sontak saja publik, terutama emak-emak berlomba-lomba membantah dan membuktikannya lewat unggahan video dan hasil belanjaannya dengan uang Rp 100.000, sekaligus pakai tagar “#100RibuDapatApa?”.

Ternyata dengan uang sebesar itu, toh emak-emak dapat beli banyak barang yang tidak sekadar dapat bawang dan cabai saja. Akhirnya, ketahuan juga Si doi melakukan dumbing down alias pembodohan publik belaka.

Dalam komunikasi politik, gaya komunikasi Sandiaga Uno ini disebut politik dumbing down.Ini tren istilah yang muncul di Eropa dalam 10 tahun ini untuk menyederhanakan kalimat politik yang sangat serius.

Dalam fenomena dumbing down ini, politikus cenderung menggeser istilah-istilah politik yang rigid dan diplomatis dengan istilah yang mudah dipahami. Biasanya, dumbing down muncul pada masa-masa pemilihan umum. Para kandidat mencoba mencari perhatian masyarakat dengan bahasa pidato yang sederhana dan jenaka.

Politikus akan mengeluarkan celetukan atau ujaran bernarasi dumbing down untuk menyasar masyarakat kelas menengah ke bawah. Istilah yang rumit yang disederhanakan ini akan lebih ditangkap mereka dan menjadi pusat perhatian dan viral di linimasa.

Dalam konteks Sandiaga Uno, pesan komunikasi politiknya tampak lebih menyasar kepada kaum menengah dan milenial.

Politik dumbing down kerap dilakukan politikus lawan petahana atau yang baru muncul namanya dalam kontestasi pemilihan umum. Hal yang sama pernah dilakukan Joko Widodo saat ia melenggang menjadi calon presiden dalam pemilihan pada 2014 lalu.

Saat itu banyak ujaran Jokowi yang sederhana dan justru diingat rakyat. Namun ujaran yang disebut kreatif itu tak muncul lagi pasca-Jokowi menjabat RI-1, ini karena dengan statusnya sebagai Presiden, secara protokoler, ia harus lebih membahasakan pidatonya dengan “gagah” dan elegan, termasuk untuk pemilihan istilah atau kata.

Lagian juga, sekarang ini Jokowi sudah begitu memesona dan tidak lagi butuh pencitraan dan popularitas. Karena dalam lima tahun terakhir, Jokowi sudah membuktikan kinerjanya yang elegan dan luar biasa.

Bila dumbing down masih digunakan, akan timbul sinisme. Masyarakat juga akan menganggap Jokowi tidak elegan.

Adapun dumbing down diakui menjadi kelebihan lawan petahana untuk menarik daya pikat dan simpati publik. Sebab, lantaran belum terkungkung protokoler, ia masih bebas menceletukkan istilah se-tak-biasa apa pun. Manuver dia memainkan political dumbing down lebih tinggi. Kalau sudah ada di pemerintahan tentu akan normatif.

Dampaknya, politik dumbing down ini akan membuat elektabilitas Sandiaga Uno meningkat bila maksudnya ditangkap baik oleh masyarakat. Sinisme terhadapnya pun akan makin rendah. Namun, bila digunakan dalam intensitas yang rapat, politikus justru akan dinilai tak elegan.

Dumbing down yang berarti pembodohan atau memperbodoh, merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan pengurangan tingkat intelektual secara sengaja terhadap isi dari materi pelajaran, pendidikan, literatur, film, berita dan budaya.

Gagasan dan istilah dumbing down berawal pada tahun 1933, sebagai bahasa slang yang digunakan oleh penulis skenario film, yang bermakna disesuaikan supaya menarik bagi mereka yang kurang pendidikan atau berdaya intelektual yang rendah.

Praktik pembodohan bervariasi dalam penggunaannya, sesuai dengan subyek permasalahan yang sedang dibahas dan tujuan dari pelakunya, pembodohan biasanya menggunakan penyederhanaan yang berlebihan terhadap definisi aslinya sampai kepada tingkat yang merusak konsep standar dari bahasa dan pembelajaran masyarakat.

Dengan cara sederhana seperti itu pelakunya (misalnya, penulis atau pembicara) membenarkan metode pendangkalan standar budaya, seni, dan akademis, sebagaimana halnya yang terjadi pada budaya populer. Meskipun demikian, penggunaan istilah “pembodohan” adalah subyektif, karena apa yang diganggap sebagai pembodohan biasanya tergantung pada perasaan dan penilaian dari pembaca, pendengar, dan pemirsa.

Dumbing-down sendiri artinya the act of making something simpler and easier for people to understand, especially in order to make it more popular.

Artinya, dumping down adalah tindakan membuat sesuatu yang lebih sederhana dan mudah dipahami orang, terutama untuk membuatnya lebih populer.

Pemimpin itu harus punya integritas dan berkarakter. Pemimpin harus mampu menunjukkan kinerjanya. Jangan asal populer dan berbeda. Khalif tu’raf, tapi minus prestasi.

Berpolitik itu harus elegan dan beradab. Jangan gegara banyak duit, semua bisa dibeli, termasuk kekuasaan. Nyalon sana, nyalon sini! Persis seperti Sandiaga Uno ini.

Sandiaga Uno ini pantasnya berada di level RT saja. Wagub saja nggak bocus kok, dicalonkan wapres! Apa prestasi dia di DKI Jakarta? Kerja saja belum. “Wagabener!”, seru nitizen di medsos, twitter terutama. Plesetan nitizen terhadap Sandiaga Uno sebagai wakil gubernur saat itu.

Makanya, Anda mesti hati-hati dan cerdas, jangan sampai cepat percaya dan dibodohi dengan cara-cara keji dan tidak elegan, seperti yang sudah dilakukan oleh Sandiaga Uno, cawapres nomor urut 02 itu. Dungu kok dipelihara!

*) Pemerhati Sosial

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih