Seberapa Besar Kemungkinan MK Memenangkan Prabowo-Sandiaga?
Oleh : Dede Sulaiman )*
Pihak Badan Pemenangan Nasional (BPN) sempat menghembuskan narasi kecurangan dan juga mendelegitimasi Mahkamah Konstitusi (MK), menanggapi hal tersebut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman berprinsip agar semua fair.
Jika MK sudah putuskan KPU curang, pihaknya akan terima dan memperbaiki diri. Namun sebaliknya, jika MK memutuskan KPU tidak curang, maka publik juga harus mau menerima putusan itu selesai.
Meski telah diteror melalui sms / whatsApp dan dituduh sebagai penyelenggara pemilu terburuk, Arief Budiman tetap bersikap bijak, dimana ia tidak ingin mengatakan bahwa ini merupakan Pemilu terbaik. Namun dirinya bersama KPU merasa sudah menjalankan Pemilu yang lebih baik.
Parameternya banyak, karena saat ini tahapan pemilu bisa diakses dengan mudah. Terkait data pemilih, mulai nama sampai tempat nyoblosnya, masyarakat dapat mengakses web KPU, bahkan situng KPU menjadi rujukan beberapa negara.
Dalam hal ini kubu paslon 02 hanya dapat menyemburkan narasi kecurangan, namun ketika diminta membuktikan dalam forum resmi, mereka melempem dan tidak sanggup membuktikannya di persidangan.
Bahkan kesaksian saksi yang dipaparkan di muka sidang MK, tidak ada satupun yang dengan jelas menyebutkan bahwa pelaksanaan Pemilu 2019 curang.
Selain tidak jelas menyebut dimana kecurangan itu, keterangan para saksi juga tak bisa menunjukkan apa dampak dari kecurangan tersebut berkaitan dengan kemenangan paslon 01 dan kekalahan 02 dalam kontestasi Pilpres 2019.
Hasyim Asy’ari juga turut meragukan saksi yang dihadirkan oleh Tim Hukum pasangan calon nomor urut 02 Prabowo – Sandiaga.
Saksi yang dimaksud adalah Rahamadsyah Sitompul. Saat memberikan kesaksian dalam persidangan, dirinya berstatus sebagai tahanan kota.
“Kami sudah meragukan ngomongnya dipelan – pelanin, pakai kacamata hitam,” tutur Hasyim.
Rahmadsyah memang sempat memakai kacamata hitam pada awal ketika memberikan kesaksian. Namun, saat persidangan berlanjut salah satu hakim menegur Rahmadsyah yang tetap menggunakan kacamata hitam. Kemudian saksi tersebut melepas kacamatanya.
Pada kesempatan yang lain, keraguan akan kredibiltas saksi kubu 02 juga diragukan oleh Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari. Sehingga keterangan saksi bukan lantas memperkuat dalil pemohon, namun justru memperlemah posisi paslon 2 selaku pemohon.
“Bagitu keterangan mereka didalami oleh hakim, malah memperlemah dalil pemohon dan tentu saja menguntungkan termohon secara tidak langsung,” tutur Feri.
Pihaknya menilai bahwa keterangan saksi yang meragukan karena didasari dengan pernyataan para saksi dari kubu 02 yang lebih banyak berasumsi, seperti keterangan Ahli IT Hermansyah, dimana dirinya mengaku mendapat ancaman karena selama ini ada mobil tak dikenal yang kerap parkir di rumahnya.
“Saksi mereka mengaku terancam berdasarkan perasaan saja. Tidak didukung dengan bukti materiil Asumtif,” tutur Peneliti Pusat Studi Konstitusi ini.
Feri juga mengatakan bahwa tim hukum Prabowo – Sandiaga juga lebih banyak menyampaikan keterangan tanpa mengalami, mendengar dan melihat sendiri kejadian tersebut.
Sehingga keterangan sejumlah saksi tersebut, Ia menilai tidak terdeskripsi telah terjadi kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) seperti yang telah dituduhkan kubu Prabowo – Sandiaga.
Contoh yang lain, adalah keterangan yang diberikan oleh saksi BPN bernama Agus Maksum, dimana ia membeberkan dugaan daftar pemilih tetap (DPT) siluman, karena ada data pemilh dengan tanggal lahir yang sama mencapai 17,5 juta.
Agus yang merupakan ahli di Bidang IT mengatakan, ada pemilih yang memiliki tanggal lahir sama pada 1 Juni sebanyak 9,8 juta, pada 31 Desemberr sebanyak 9,8 juta dan pada 1 Januari sebanyak 2,3 juta. Dengan demikian, Agus menilai bahwa data pemilih yang lahir pada tanggal tersebut jumlahnya tidak wajar.
Dalam hal ini Saksi Agus tidak menyadari bahwa banyak warga Indonesia yang memang tidak tahu akan tanggal lahirnya, sehingga saat pengurusan akta atau KTP, pihak Dukcapil terpaksa menuliskan tanggal lahir pada ketiga tanggal tersebut.
Maksum juga tidak dapat menjawab pertanyaan hakim ketikda dirinya ditanya, apakah masalah DPT yang dipaparkan berkorelasi dengan penggunaan hak pilih.
Melalui keterangan diatas, tentu kita dapat menarik sebuah hipotesis bahwa kecurangan dalam pemilu 2019 amatlah sulit dibuktikan, sehingga tidak ada pilihan lain bagi kubu 02 untuk bersikap legowo dan menerima apapun putusan MK.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik