Separuh Abad Kiprah Ma’ruf Amin Untuk Indonesia
Penulis : Ahmad Rois*
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk kembali maju untuk Pilpres 2019. Jokowi menggandeng Ketua Majelis Umum Indonesia (MUI), Prof DR Maruf Amin sebagai Calon Walik Presiden dalam menghadapi persaingan Pilpres 2019. Selama ini Ma’ruf dikenal sebagai Ketua Umum MUI periode 2015—2020. Beliau juga pernah menjabat sebagai Rais Aam PBNU pada periode 2015—2020. Serta, menjadi ketua komisi fatwa MUI pusat.
Ma’ruf Amin punya darah kiai di Banten. Kakeknya bukan sembarang kiai. Banyak kiai-kiai Nusantara berguru pada kakeknya. “Amin adalah cucu dari ulama besar Syeikh Nawawi al-Bantani,” tulis A. Effendy Choirie dalam Islam-nasionalisme UMNO-PKB: Studi Komparasi dan Diplomasi (2008: 367). Ma’ruf Amin menjadi Ketua Umum MUI sejak 2015. Ia menggantikan Din Syamsuddin pada Munas 2015 di Surabaya. Jika Din Syamsuddin berasal dari Muhammadiyah, dan pernah menjadi ketua umumnya; Ma’ruf Amin dikenal sebagai tokoh Nahdlatul Ulama (NU), dan saat ini menjabat Rais Aam organisasi tersebut. Ma’ruf Amin tumbuh dewasa dalam tradisi NU. Setelah belajar di Sekolah Rakyat dan Madrasah Ibtidaiyah Tangerang, keluarganya, seperti dicatat dalam Mimbar Ulama: Perjalanan 42 Tahun MUI, “menyekolahkan Ma’ruf Amin ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Tengah. Setelah lulus pondok, ia meneruskan kuliah di Universitas Ibnu Chaldun, Bogor, Jawa Barat.” Beliau pernah menjadi anggota Koordinasi Dakwah Indonesia (KODI) untuk daerah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Raya di masa mudanya. Selain itu, beliau aktif juga di organisasi NU.
Menurut catatan Jamal Ma’mur Asmani dalam Mereguk Kearifan Para Kiai (2018: 186), di masa mudanya Ma’ruf Amin sudah jadi dosen di Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta Utara dari 1968 hingga 1971. Beliau pernah juga menjadi Ketua Cabang Gerakan Pemuda Ansor Tanjung Priok di masa perlawanan terhadap PKI (1964-1966). Ma’ruf Amin juga sempat menjadi ketua Front Pemuda dari 1964 hingga 1967. Dari 1968 hingga 1978, beliau menjadi Wakil Ketua NU wilayah DKI Jakarta. “Perjalanan karir politiknya hingga ke pentas nasional berawal dari kiprahnya di tingkat daerah dan organisasi kemasyarakatan,” tulis Zainal Abidin Amir dalam Peta Islam Politik Pasca-Soeharto (2003: 126). Sedari muda, Ma’ruf Amin sudah duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI. Tak tanggung-tanggung, menurut Jamal Ma’mur Asmani (hlm. 186), beliau menjabat sebagai Ketua Fraksi Golongan Islam dari 1971-1973 dan dari 1973 hingga 1977 menjadi Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Selanjutnya, dari 1977 hingga 1982, beliau beliaungkat sebagai pimpinan Komisi A DPRD DKI Jakarta. Ketika orang-orang NU bergabung dalam PPP atas kemauan Orde Baru, Ma’ruf Amin jadi saksi sejarahnya. Usia Ma’ruf Amin kala itu masih 28 dan sudah jadi anggota dewan.
Beliau pernah menjadi anggota Dewan Syuro Partai kebangkitan Bangsa (PKB). Lewat partai itu pula, Ma’ruf Amin jadi anggota DPR lagi pada 1999. Kala itu bertindak sebagai Presiden adalah Abdurahman Wahid (Gus Dur). Setelahnya, beliau aktif menjadi komisi fatwa di MUI. Sudah jelas Ma’ruf Amin kenyang asam garam dunia politik sejak muda. Jika beliau masuk politik saat jadi Ketua Ansor Tanjung Priok pada 1964, setidaknya Ma’ruf Amin sudah berkarier di politik sekitar 54 tahun, dengan segala pasang surutnya.
Setelah separuh abad, di usianya yang kini 75, Ma’ruf Amin pun nyaris mendekati puncak kekuasaan dalam Republik ini. Jokowi memutuskan menggandeng Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut karena sosok Maruf Amin erat kaitannya dengan kebhinekaan dan seorang tokoh agama yang sangat bijaksana. Apalagi dengan melihat sepak terjang perjalanan karir Ma’ruf Amin yang sudah asam garam dalam dunia kepemerintahan, politi, dan keagamaan sehingga tidak perlu diragukan lagi kredibilitasnya. Jila beliau menang, beliau akan jadi wakil presiden pertama asal Banten.
)* Mahasiwa FISIP Universitas Hasanuddin