Seperti Presiden Jokowi, Para Tokoh Ini Mengutamakan Bahasa Aslinya Saat Berpidato
Oleh : Alfisyah Kumalasari )*
Terkait dengan keahlian dalam berbahasa inggris dengan pengucapan yang sempurna seperti penutur asli, tak semua orang di dunia ini bisa. Bahkan para pemimpin negara di dunia ini juga tak semua mau berbahasa Inggris meski dirinya mampu melafalkannya.
Meski begitu ada pula yang bisa berbahasa Inggris secukupnya meski pengucapannya memiliki aksen non-english. Seperti Presiden Indonesia Joko Widodo misalnya, dirinya berbicara bahasa Inggris dengan aksen medok Jawa.
Hal tersebut mendapat tanggapa dari Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang menyatakan bahwa kita harus bangga dengan logat kita.
Namun ternyata beberapa pemimpin negara juga dikenal lebih mengutamakan bahasa aslinya daripada menggunakan bahasa Inggris, seperti Perdana Menteri India Narendra Modi yang memilih tetap menggunakan bahasa India bahkan dalam pertemuan para pemimpin dunia.
Faktanya Modi memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang cukup mumpuni, hal tersebut dibuktikan ketika dirinya berbicara di Forum Pertemuan Global Pasar Bekembang pada 2013. Hal tersebut juga turut mengejutkan para hadirin, meski begitu, bila kita dengarkan melalui Youtube, aksen India yang diucapkan Modi tetap Jelas terdengar.
Jika memiliki kemampuan berbahasa Inggris, tentu akan memunculkan pertanyaan mengapa Modi memutuskan untuk tidak memakai bahasa Inggris? Ternyata ada alasan politis yang mendasarinya.
Modi menggunakan penerjemah ketika bertemu dengan Barrack Obama pada September 2014. Pilihan itu dinilai diambil berdasarkan pertimbangan domestik daripada memunculkan kekhawatiran lawan bicara menjadi bingung.
Bahasa Hindi adalah bahasa resmi India, bahasa Inggris bukan bahasa yang terlalu asing di negara tersebut, meskipun hanya ada 5 persen saja yang lancar dalam berbahasa Inggris.
Mahatma Gandhi pernah berkata “memberi jutaan pengetahuan bahasa Inggris adalah memperbudak mereka.”
Di Negara tersebut, urusan bahasa bisa menjadi persoalan politis, dimana kalangan lulusan sekolah atas biasanya membanggakan kemampuan bahasa Inggris mereka. Namun Modi Sendiri beraal dari keluarga yang sederhana dan tidak bersekolah di tempat elite.
Jika sosok Modi tampil bercakap – cakap menggunakan bahasa Inggris, maka kaum nasionalis Hindu tentu bisa merasa berjarak dengan sosok Modi. Orang dengan kemampuan berbahasa Inggris yang fasih di India identik dengan kaum elite sekuler yang kurang merakyat. Di samping itu, masih ada kesan tersisa bahwa bahasa Inggris seperti bahasa para penjajah.
Selain Modi, Presiden Prancis Periode 2012 – 2017 Francous Hollande juga masih mempertahankan gengsi sejarah, dimana bahasa Prancis pernah menjadi Lingua Franca. Meskipun ia sempat mengklaim bahwa dirinya memiliki kemampuan berbahasa Inggris lebih fasih daripada pendahulunya Nicholas Sarkozy.
“Seorang Presiden Prancis harus berbicara dalam bahasa Prancis,” tutur Hollande.
“Pemimpin Prancis perlu memahhami bahasa itu dan memiliki kemampuan untuk bertutur kata dengan lawan bicaranya. Namun saya tetap terikat pada bahasa Prancis dan kepada Francophonie (Organisasi negara – negara berbahasa Prancis),” tuturnya.
Selain itu Vladimir Putin ternyata juga belum lama belajar Bahasa Inggris, Presiden Russia yang lancar berbahasa Jerman tersebut juga sering berbincang dengan bahasa Russia. Vladimir Putin mengahu dirinya belajar bahasa Inggris beberapa tahun lalu, bukan sejak kecil. Dirinya juga tidak keberatan menggunakan bahasa Inggris untuk menekankan kalimat – kalimat tertentu supaya lebih dramatis.
Dikutip dari The Guardian dalam tulisannya pada tahun 2014, Putin masih belajar untuk mengucapkan huruf vokal bahasa Inggris. Dia jarang berbicara bahasa Inggris dan tak pernah berbahasa Inggris dalam agenda diplomatik formal.
Selain itu Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker yang dikenal lancar berbahasa prancis, jerman dan Inggris, mengatakan bahwa bahasa Inggris makin kehilangan arti pentingnya dewasa ini.
“Pelan tapi pasti, bahasa Inggris sedang kehilangan arti pentingnya di Eropa,” tutur Juncker dalam konferensi di Florence Mei 2017 silam.
Hal tersebut juga dilandasi oleh pendapat seorang Profesor dari diplomasi publik Universitas Southern California, Philip Seib, yang mengatakan kadang – kadang diplomat menolak berbicara dalam bahasa Inggris atas dasar nasionalisme.
Oleh karena itu apabila ada sebagian masyarakat atau netizen yang masih “nyinyir” dengan pidato Presiden Jokowi yang Java-english, mungkin wawasan diatas bisa menjadi pertimbangan sebelum melontarkan kritikan.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik