Siapa Bersalah Dalam Kasus Karhutla?
Oleh : Dodik Prasetyo )*
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo divonis bersalah pada kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di wilayah Kalimantan Tengah pada tahun 2015 silam. Vonis itu diketok oleh Pengadilan Negeri (PN) Palangkaraya dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Palangkaraya. Gugatan itu dilayangkan sekelompok masyarakat. Mereka menggugat: Presiden Republik Indonesia; Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia; Menteri Pertanian Republik Indonesia; Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia; Menteri Kesehatan Republik Indonesia; Gubernur Kalimantan Tengah dan Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah.
Gugatan terhadap Jokowi termasuk beberapa pihak pemerintahan baik pusat maupun daerah tersebut terdaftar di PN Palangkaraya dengan nomor 118/Pdt.G/LH/2016/PN.Plk. Jokowi dkk selaku penanggung jawab dinilai telah gagal memberikan kepastian hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat kepada seluruh rakyat Kalimantan Tengah. Sehingga, warga butuh kepastian bila tahun-tahun selanjutnya tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan.
Gugatan tersebut di atas dikabulkan dan diputuskan bahwa: 1. Menyatakan para tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum; 2. Menghukum Tergugat I (Presiden) untuk menerbitkan Peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, dengan melibatkan peran serta masyarakat.
Oleh sebab itu, Presiden Jokowi dihukum untuk membuat sejumlah peraturan guna mencegah kebakaran hutan. Namun, pemerintah justru menggunakan kanal hukum untuk menyikapi hal tersebut dengan mengajukan kasasi ke MA. Kini kasasi itu masih diperiksa di MA.
Sekarang mari kita lihat apa yang sebenarnya terjadi. Pada era 1980-an, membakar hutan untuk membuka lahan pertanian diperbolehkan pemerintah dan kini Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat deforestasi tertinggi dunia. Akan tetapi, selama dua dekade terakhir, pembakaran untuk membuka lahan diatur undang-undang. Hanya pembakaran di bawah dua hektare lahan yang diperbolehkan. Hal ini membuka celah bagi perusahaan-perusahaan besar. Mereka diduga membayar petani-petani kecil untuk memanfaatkan lahan konsesi—kadang-kadang hanya dengan upah rokok dan baju–dan meminta petani-petani itu membuka lahan tersebut. Membawa perusahaan-perusahaan dan para petani kecil yang diduga bertanggung jawab atas aksi pembakaran hutan dan lahan ke meja hijau merupakan tantangan berat. Industri kehutanan pun sering disebut-sebut sarat dengan korupsi.
Presiden Joko Widodo telah melakukan sejumlah aksi untuk menangani kebakaran hutan dan lahan, termasuk mengerahkan lebih dari 10.000 polisi dan tentara serta pesawat pengebom air. Jokowi pun telah melarang izin usaha di lahan gambut dan akan mengembalikan fungsi lahan-lahan gambut itu. Jika kita melihat dari berbagai sumber, secara umum diperlukan tiga tahun sebelum dunia bisa melihat perkembangan signifikan yang dilakukan pemerintahannya untuk menangani kebakaran hutan.
Pada Desember 2015, Indonesia mengumumkan lebih dari 50 perusahaan akan dihukum atas peran mereka dalam kebakaran hutan. Penyelidikan lebih lanjut pun dilakukan saat itu. Namun, beberapa pekan kemudian, PN Palembang menolak gugatan perdata senilai Rp7,9 triliun dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di konsesi PT Bumi Mekar Hijau seluas 20 ribu hektar pada 2014. Majelis hakim menyatakan tak melihat ada dampak kebakaran hutan pada rusaknya ekosistem, bahkan mengutip ahli yang mengatakan tak terjadi kerusakan karena lahan tetap bisa ditanami oleh akasia. Atas putusan itu, pemerintah menyatakan banding. Pemerintah Indonesia pun masih menyelidiki perusahaan-perusahaan yang diduga terlibat pembakaran hutan.
Selain itu, tata kelola dan manajemen kehutanan yang buruk, berdasarkan berbagai kajian, telah berlangsung 12 tahun terakhir. Namun, semua orang mengatakan itu adalah kesalahan menteri sebelumnya atau gubernur sebelumnya. Menurut sejumlah pakar kehutanan dan pemadam kebakaran pun mengatakan salah satu dari masalah terbesar yang dihadapi Indonesia adalah minimnya pengetahuan petugas pemadam, terutama di tingkat daerah. Padahal, kebakaran hutan harus cepat dideteksi dan direspons oleh orang yang terlatih dengan baik, terkelola dan terkoordinasi dengan baik, dan bisa menangani berbagai tipe kebakaran hutan.
Jika kita perhatikan dengan seksama dari uraian tersebut di atas, Jokowi selaku Presiden RI beserta jajarannya telah melakukan berbagai usaha dan upaya baik dari sisi hukum maupun pendekatan persuasi terhadap masyarakat dan dunia usaha. Namun demikian proses tersebut tidaklah semudah membalikkan telapak tangan dan memerlukan kerjasama berbagai pihak yang memiliki kepentingan baik dari Pemerintah Pusat dan Daerah, para Pengusaha, LSM maupun berbagai organisasi penggiat lingkungan.
Maka dari itu seyogyanyalah kejadian kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di negara kita yang kita cintai ini bukan hanya tanggung jawab Jokowi selaku Presiden beserta jajarannya saja. Namun merupakan tanggung jawab kita bersama dan sudah barang tentu kita wajib melakukan berbagai usaha untuk mengatasi kejadian kebakaran hutan dan lahan tersebut sesuai kemampuan masing-masing bukan hanya menyalahkan bahkan menuntut pemerintah untuk menyelesaikannya.
)* Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)