Polemik Politik

Pemindahan Ibu kota Negara Mengurangi Ketimpangan Wilayah

Oleh : Edi Jatmiko )*

Pemerintah dan DPR terus berupaya merealisasikan upaya pemindahan Ibu Kota Negara ke Pulau Kalimantan. Pemindahan Ibu Kota Negata tersebut diyakini akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia.

Wacana memindahkan ibu kota negara akhirnya dieksekusi setelah Presiden Joko Widodo mengusulkan secara terbuka pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan. Pusat pemerintahan baru akan dipindahkan ke Kalimantan Timur, sedangkan DKI Jakarta sesuai rencana akan menjadi pusat ekonomi dan bisnis.  Pertimbangan penetapan lokasi baru di Kalimantan Timur, sebagaimana dipaparkan Presiden Joko Widodo, setidaknya mencakup lima hal.

Pertama, minim risiko bencana. Kedua, lokasi strategis karena berada di tengah-tengah wilayah Indonesia yang terbentang dari Aceh hingga Papua. Ketiga, berdekatan dengan wilayah perkotaan yang sudah berkembang, yakni Kota Balikpapan dan Kota Samarinda. Keempat, sudah memiliki infrastruktur yang relatif lengkap, seperti jalan, bandar udara, dan pelabuhan. Kelima, telah tersedia lahan yang dikuasai pemerintah seluas 180.000 hektar. Bappenas memprediksi biaya pemindahan Ibu kota mencapai Rp 485 triliun, dengan Rp 93 triliun di antaranya dari APBN. Sisanya diharapkan bersumber dari hasil pemanfaatan aset pemerintah dan  kerja sama dengan swasta.

Pemindahan ibu kota negara merupakan hal yang biasa dan wajar. Beberapa negara pun pernah melakukannya, seperti Amerika Serikat dari New York ke Washington DC, Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia, Australia dari Sydney ke Canberra, serta Turki dari Istanbul ke Ankara. Jika melihat kompleksitas permasalahan Jakarta, wacana pemindahan ibu kota menjadi cukup rasional.

Posisi Jakarta disebut terlalu sentris dan menjadi barometer semua kegiatan, yakni pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis serta jasa keuangan dan perdagangan. Peran berganda itu dimungkinkan karena infrastruktur pendukung sangat baik.  Akibatnya, daya dukung kota merosot dalam penyediaan air bersih dan perumahan layak bagi setiap warga.

Saat musim kemarau kering, kualitas udara memburuk, salah satunya karena arus lalu lintas kendaraan penduduk kota-kota sekitar menuju ke Ibu kota. Ketika tiba musim hujan, banjir menjadi ancaman sebagian warga meskipun upaya memperbaiki aliran sungai terus dilakukan.

Berdasarkan hitungan Bappenas, kerugian akibat kemacetan di Jakarta Rp 100 triliun dan 50 persen wilayah Jakarta termasuk kategori rawan banjir. Banjir tidak hanya berasal dari hulu, tetapi juga dari penurunan tanah di pantai utara dan kenaikan permukaan air laut. Selain penurunan daya dukung, alasan lain yang selalu mengemuka adalah keadilan ekonomi. Pembangunan ekonomi dinilai terlalu Jawa-sentris sehingga menimbulkan gap lebar antara Indonesia bagian barat dan timur. Pemindahan aktivitas pusat pemerintahan ke Kalimantan secara langsung akan meningkatkan aktivitas di sekitar lokasi ibu kota baru.

Oleh karena itu, rencana pemindahan ibu kota tidak perlu menjadi polemik yang menguras energi bangsa. Sebaliknya, dukungan dari seluruh elemen masyarakat berdampak signifikan guna suksesnya pemindahan ibu kota negara yang bertujuan baik, salah satunya transformasi ekonomi, baik itu untuk pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Selain itu, rencana pemindahan ibu kota juga perlu dilakukan secara gradual dan sistematis, dengan mempersiapkan payung hukum sehingga pembahasan RUU Pemindahan Ibu kota di DPR diharapkan dilakukan dengan seksama guna mendukung rencana pemerintah memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur.

)* Penulis adalah pengamat sosial politik

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih