Stop Rasisme dan Hargai Perbedaan Demi Keutuhan NKRI
Oleh : Edward Krey )*
Wajar kiranya apabila kita marah ketika martabat bangsa dilecehkan, namun ingat bukan berarti kita menganggap semua orang sama saja. Padahal setiap insan itu unik dan tidak bisa disamakan dengan sebuah objek, apalagi objek cacian yang tidak pantas.
Isu Rasis sebenarnya telah lama hilang di Nusantara, apalagi setelah munculnya konsep kota ramah HAM yang dicanangkan di beberapa wilayah di Indonesia. Sehingga perbedaan dan keberagaman tidak menjadi halangan untuk menjalin persatuan.
Sebelumnya, sejumlah Ormas menggeruduk asrama Mahsiswa Papua yang berada di Surabaya. Mereka bahkan berusaha masuk ke dalam asrama namun dicegah oleh aparat keamanan yang berjaga di pagar asrama. Pemicunya disinyalir karena Mahasiswa Papua enggan mengibarkan Bendera Merah Putih di halaman asrama. Massa Ormas kemudian melempari asrama mahasiswa dengan batu sembari mengeluarkan kalimat yang bernada rasis terhadap mahasiswa yang saat itu tengah berada di asrama.
Ketua Dewan Adat Serui, Ones Wayoi turut menyayangkan kejadian yang dialami oleh Mahasiswa Papua di Pulau Jawa tersebut. Aksi yang menimpa Mahasiswa Papua jelas tidak sesuai dengan perilaku masyarakat yang faham akan norma adat dan agama.
Pihaknya juga mengatakan, Papua merupakan bagian dari NKRI. Sehingga kenapa harus ada aksi rasisme seperti itu. Jika Indonesia telah menjunjung tinggi nilai Pancasila, maka sudah sepatutnya masyarakat Papua tidak mendapatkan perlakuan seperti itu.
Jika kita pahami apa yang dilakukan oleh Mahasiswa Papua di Asrama Papua yang berada di Surabaya, tentu semestinya perlu dilakukan penanganan dan penindakan secara hukum, bukan penghakiman massa yang disaksikan oleh institusi negara dan direkam oleh wartawan tanpa koran.
Tindakan rasis yang dilakukan merupakan bentuk penghinaan dan penyangkalan terhadap harkat dan kemanusiaan yang jelas – jelas dilindungi oleh UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Berbagai komponen masyarakat sipil dimanapun berada, tentunya patut menunjukkan sikap menghargai eksistensi masing – masing etnis dan agama serta mendorong perilaku non diskriminatif dalam bentuk apapun.
Seluruh komponen masyarakat sipil khususnya ormas dan organisasi kemahasiswaan tentu memiliki peran untuk menyuarakan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, bebas dari sikap rasis dan stigmatisasi terhadap mahasiswa atau siapapun sebagai wujud dari negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan keadilan.
Jika aksi perlakuan diskriminasi yang dialami oleh Mahsiswa Papua tidak segera dihentikan, tentu akan menimbulkan kebencian dan ketidakharmonisan di kalangan masyarakat di tanah Papua.
Koordinator Lembaga Musyawarah Adat Teluk Saereri, David Rumansara menghimbau kepada pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Walikota Surabaya dan segenap jajarannya untuk dapat memberikan perlindungan kepada Mahasiswa asal Papua sebagai bagian dari warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sementara itu warga asli Bumi Papua yang tinggal di luar Papua sudah semestinya tidak terhasut dengan ajakan untuk melakukan aksi demo yang dapat mengganggu ketertiban masyarakat lokal.
Permasalahan yang dialami Mahasiswa Papua di Jawa Timur haruslah diselesaikan dengan cara – cara persuasif dan tidak dengan cara kekerasan.
Suara stop rasisme juga digaungkan oleh Ikatan Mahasiswa Papua Lampung (Ikmapal) yang meminta agar masyarakat tidak terprovokasi dan menghentikan segala tindakan rasis kepada sesama manusia dan anak bangsa Indonesia.
Pihaknya menilai bahwa oknum yang mengatakan rasis tersebut haruslah ditahan karena terbukti telah melakukan pelanggaran HAM.
Di Lampung, Mahasiswa Asal Papua tidak merasakan dampak dari permasalahan tersebut dan semuanya berjalan normal – normal saja.
Pihak kepolisian juga telah datang, untuk menyatakan sikap dan menjamin para Mahasiswa Papua dapat belajar menuntut Ilmu dengan aman.
Bahkan Walikota Bandar Lampung Herman HN juga pernah mengundang Mahasiswa Papua untuk datang ke rumah dinasnya, Herman pun menyampaikan kepada para Mahasiswa asal Papua tersebut atas terjaminnya keamanan mereka.
Hal seperti itu tentu patut dicontoh, sebagai bentuk penerapan semboyan bhineka tunggal ika, yang bermakna berbeda beda tetapi tetap satu jua.
Perbedaan yang ada bukan berarti menjadi halangan untuk tetap menjaga persatuan, keberagaman yang ada sudah sepatutnya disyukuri, karena keberagaman merupakan kekayaan budaya yang belum tentu dimiliki oleh bangsa lain.
Stop Rasisme di Bumi Pertiwi, warna kulit boleh berbeda, namun bukan berarti perbedaan harus menimbulkan luka.
)* Penulis adalah mahasiswa Papua, tinggal di Yogyakarta