Strategi Jitu Pemerintah Membangun Papua
Oleh : Iqbal Fadillah )*
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode kedua kepemimpinan nampaknya semakin serius ingin membuktikan prioritas utama bagi masyarakat Papua dan Papua Barat. Pada periode pertama kepemimpinannya, Presiden Jokowi melalui komitmen Nawa Cita telah membuktikan program pembangunan daerah di kawasan Papua dan Papua Barat menjadi prirotas utama yang harus dilakukan. Pemerintah secara bertahap dan berkelanjutan terus berupaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk di Papua, salah satunya melalui pembangunan perekonomian di Pulau Papua serta mengakomodir aspirasi masyarakat asli Papua.
Presiden Jokowi menyatakan rakyat Papua tidak hanya membutuhkan pelayanan kesehatan, pendidikan, pembangunan jalan, jembatan, dan pelabuhan, tetapi juga butuh didengar dan diajak bicara. Hal tersebut yang nampaknya dengan tanggap direspon oleh Kepala Badan Intelijen Negara, Budi Gunawan. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara pasal 29 yang menerangkan tugas Badan Intelijen Negara salah satunya adalah memberikan pertimbangan, saran dan rekomendasi tentang pengamanan penyelenggaraan pemerintahan. Hal tersebut semata-mata hanya bertujuan dalam rangka mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk dan sifat ancaman yang potensial dan nyata terhadap keselamatan dan eksistensi bangsa dan Negara serta peluang yang ada bagi kepentingan dan keamanan nasional.
Namun, sebagian masyarakat Indonesia masih memahami masalah di Papua hanya terbatas persoalan diskriminasi masyarakat asli Papua. Padahal, menciptakan kondisi sosial yang kondusif bagi masyarakat asli Papua dapat menjadi kunci untuk mempertahankan stabilitas keamanan di Pulau Papua. Peranan masyarakat sipil dalam menciptakan suasana kondusif di Papua menjadi hal yang paling utama dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat adat di Papua. Setidaknya, peran utama masyarakat sipil melalui rekonstruksi sosial di tingkat individu maupun tingkat kolektif dengan pelibatan unsur-unsur adat di Papua.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh peneliti sosiologi asal Harvard, Matthew Clair, “ras” merupakan sebuah konsep yang dibentuk oleh konstruksi sosial. Konsep “ras” tidak tercipta secara alami berdasarkan kondisi biologis seseorang, tetapi terbentuk karena kecenderungan manusia untuk mengelompokkan suatu bagian masyarakat berdasarkan ciri-ciri fisik yang mereka miliki. Pemerintah Indonesia sebenarnya telah berusaha untuk mendiversifikasi pendekatannya terhadap Papua.
Pendekatan konstruksi sosial yang secara simultan terus dibangun oleh Presiden Jokowi untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial yang selama ini terjadi di Papua. Pemerintah melakukan berbagai upaya yang menggunakan pendekatan kesejahteraan dan sosial-budaya terhadap masyarakat asli Papua. Salah satunya adalah pertemuan Presiden Jokowi dengan 61 Tokoh Papua di Istana Negara, Jakarta pada 10 September 2019, Presiden Joko Widodo menyetujui aspirasi yang disampaikan oleh 61 Tokoh Papua semata-mata untuk mewujudkan keadilan sosial di bumi Cendrawasih.
Akan tetapi, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panitia Khusus Papua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (Pansus Papua DPD RI) dengan Dewan Adat Papua, Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM), Tokoh Politik dan Tokoh Agama membahas permasalahan Papua, yang digelar di Kota Jayapura, Papua, pada 27 November 2019, dipimpin Filep Wamafma (Ketua Pansus Papua DPD RI), menghasilkan 10 kesimpulan, dimana salah satunya adalah soal dukungan Pansus Papua DPD RI terhadap peninjauan kembali program-program dan kebijakan Badan Intelijen Negara (BIN) yang selama ini dinilai telah menimbulkan perpecahan di masyarakat Papua.
Stigma negatif tentang kegiatan intelijen nampaknya masih melekat di sebagian masyarakat. Padahal dalam pasal 1 UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, dijelaskan bahwa Intelijen Negara adalah penyelenggara Intelijen yang merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional dalam rangka pencegahan, penangkalan dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional.
Pengamat politik Ireng Maulana menyoroti Kepala Badan Intelijen Negara, Budi Gunawan yang berhasil mempertemukan 61 Tokoh Papua dengan Presiden tersebut. Menurut pria lulusan Master of Art in Political Science dari Lowa State University, Iowa (IA), Amerika Serikat ini, diyakini daftar permintaan yang diajukan ke Presiden Jokowi oleh 61 Tokoh Papua sudah terlebih dahulu melalui perhitungan resiko dan skala ancaman yang berasal dari sisi analisis intelijen. Selain itu, menurut Ireng, kehadiran langsung Kepala BIN dalam pertemuan tersebut dapat diartikan sebagai bantahan kecemasan banyak pihak bahwa pendekatan penyelesaian kerusuhan yang terindikasi ditunggangi kelompok pemberontak ingin diselesaikan melalui jalan konsolidasi. Terakhir, dirinya menegasikan bahwa hubungan antara intelijen dan pembuatan keputusan adalah kunci dalam konteks kemampuan mengamankan kepentingan negara.
Hal senada disampaikan Arief Poyuono (Waketum DPP Gerintra) yang menilai pembangunan infrastruktur yang dilakukan selama masa pertama Presiden Jokowi berjalan lancar tidak terlepas dari kinerja Badan Intelijen Negara di bawah komando Jenderal (Purn) Budi Gunawan yang ciamik. BIN melakukan banyak penyerapan aspirasi secara langsung ke masyarakat sebelum pembangunan infrastruktur. Menurut Arief, Budi Gunawan berhasil membawa BIN memposisikan Presiden Joko Widodo sebagai “single client”.
Terlepas dari kinerja BIN dan unsur stakeholder lainnya dalam mengatasi berbagai permasalahan di Papua, yang paling utama adalah diperlukan sebuah perubahan fundamental dari masyarakat mengenai anggapan bahwa menjaga Papua sebagai bagian dari NKRI merupakan tanggungjawab Pemerintah semata. Setiap unsur Negara memiliki peranan tersendiri dalam mempertahankan keutuhan bangsa, dan peran paling utama adalah dukungan masyarakat sipil terhadap terciptanya kondisi sosial yang kondusif bagi masyarakat Papua.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik