Polemik Politik

RKUHP Upaya Bebaskan Indonesia dari Nuansa Kolonial

Oleh : Made Raditya )*

Pemerintah secara resmi telah menyerahkan draft rancangan undang-undang tentang Kitab Undang-undang hukum pidana (RKUHP) pada Komisi III DPR pada 6 Juli 2022. Langkah ini perlu mendapat apresiasi semua pihak, sebagai bentuk komitmen Pemerintah membebaskan Indonesia dari nuansa Kolonial.

RUU KUHP akan kembali dibahas komisi III DPR bersama dengan pemerintah, khusus pada 14 isu krusial karena RUU ini merupakan RUU operan (Carryover) DPR periode 2014-2019. Artinya dengan metode itu, RUU tersebut tidak akan dibahas secara keseluruhan dari awal, tetapi langsung di take over persoalan-persoalan yang mengganjal yang menjadi 14 isu krusial yang akan dibahas dalam pertemuan-pertemuan yang nanti akan dilakukan DPR dengan pemerintah.

            Besar kemungkinan perubahan draf RUU KUHP akan menjadi yang terakhir diserahkan ke DPR. Karena, dalam pembahasannya akan dilakukan kembali rapat dengar pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terhadap masyarakat, hal ini bertujuan untuk menerima masukan-masukan dan pendapat. Apalagi jika masukan itu sesuai dengan aspirasi dan ide dasar RKUHP yang telah ada.

            Pembahasan RKUHP akan kembali dilanjutkan setelah masa reses DPR pada Agustus 2022. Dalam pembahasan tersebut, dimungkinkan akan ada ruang untuk mendengarkan pendapat dan pandangan dari elemen masyarakat.

            Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mendorong kepada jajarannya untuk memastikan agar masyarakat paham terhadap sejumlah masalah yang masih didiskusikan dalam RKUHP. Jokowi juga meminta agar jajarannya bisa membuka diskusi untuk menyerap pendapat dan usul dari masyarakat terkait dengan RKUHP tersebut.

            Hal tersebut disampaikan oleh Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) setelah selesai mengikuti rapat internal yang membahas RKUHP yang dipimpin oleh Presiden Jokowi di Instana Merdeka.

            Mahfud menuturkan. Presiden Jokowi telah memerintahkan dan meminta kepada jajarannya untuk memastikan bahwa masyarakat sudah paham terhadap masalah-masalah yang masih diperdebatkan itu sehingga pihaknya diminta untuk mendiskusikan lagi secara masif dengan masyarakat untuk memberi pengertian dan justru meminta pendapat dan usul-usul dari masyarakat.

            Bagaimanapun juga, hukum merupakan cermin kesadaran hidup bermasyarakat, sehingga hukum yang akan diberlakukan itu juga harus mendapat pemahaman dan persetujuan dari masyarakat, itulah hakikat demokrasi dalam konteks pemberlakuan hukum.

            Mahfud menuturkan bahwa saat ini pembahasan RKUHP sudah hampir final dan masuk pada tahap-tahap akhir pembahasan. Menurutnya, RKUHP ini mencakup lebih dari 700 pasal yang di antaranya terdapat 14 masalah yang masih perlu diperjelas dan didiskusikan.

            Mahfud menjelaskan, terhadap 14 masalah yang sekarang sedang menjadi diskusi itu, akan dilakukan diskusi-diskusi secara lebih terbuka dan lebih proaktif melalui dua jalur. Pertama, akan terus dibahas di DPR untuk menyelesaikan 14 masalah ini, kemudian jalur yang kedua terus melakukan sosialisasi dan diskusi ke simpul-simpul masyarakat yang terkait dengan masalah-masalah yang masih didiskusikan.

            Untuk itu, sesuai dengan arahan Presiden yang menaruh perhatian besar terhadap masalah ini, pemerintah akan mengagendakan penyelenggaraan diskusi-diskusi untuk menyerap usul dari masyarakat. Nantinya diskusi tersebut akan diselenggarakan dan difasilitasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sementara untuk materinya akan disiapkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

            Sementara itu, Beberapa orang menganggap bahwa RUKUHP bertujuan untuk menghidupkan kembali kolonialisasi, tapi nyatanya tidak ada kajian khusus yang benar-benar spesifik mengurai apa saja yang disebut sebagai warisan nilai-budaya kebarat-baratan, khususnya dalam hukum di Indonesia.

            Di sisi lain, apa yang disebut sebagai nilai-budaya kebarat-baratan itu sendiri juga memang tidak jelas, tidak ada indikator yang jelas pula dengan apa yang disebut sebagai kebarat-baratan dan mengapa hal yag berbau kebarat-baratan tersebut dianggap lebih buruk dan hina dengan yang berbau keindonesiaan.

            Apabila muncul asumsi bahwa nilai kebarat-baratan itu buruk, atau tidak boleh diterapkan di Indonesia, tentu saja semestinya akan ada penolakan pula terhadap segala warisan yang berbau kebarat-baratan juga yang dilakukan secara total dan menyeluruh juga. Termasuk dengan menolak konsep politik ketatanegaraan modern, budaya berpakaian, budaya makanan, produk dagangan dan sebagainya yang dianggap sebagai Western Culture. Semua itu secara sadar atau tidak justru telah menjadi nilai yang hidup di masyarakat Indonesia dan terus berkembang.

            Namun ada saja anggapan bahwa nilai budaya masyarakat itu bersifat statis, seolah dapat dikristalisasi dan dibakukan ketika dimasukkan ke dalam instrumen hukum nasional.

            Dalam sejumlah teori antropologi, hal tersebut juga disebut sebagai sifat anti-esensialis yang melekat pada budaya suatu komunitas masyarakat. Ini terjadi secara natural begitu saja seiring perubahan waktu, globalisasi serta ruang antar bangsa dan negara.

            Sehingga anggapan yang menyatakan bahwa RUKHP adalah upaya untuk melahirkan kolonialisme tidaklah tepat, karena bagaimanapun juga zaman telah berubah, di sisi lain pemerintah juga menyediakan ruang dengar umum, di mana hal ini merupakan ciri dari negara yang demokratis.

)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih