Polemik Politik

Demo UU Cipta Kerja Mengganggu Kenyamanan Masyarakat

Oleh : Dina Kahyang Putri )*

Sebagai sebuah negara demokrasi, Indonesia membolehkan rakyatnya untuk mengemukakan pendapat. Namun akhir-akhir ini unjuk rasa UU Cipta Kerja makin anarkis sehingga mengganggu kenyamanan masyarakat. Warga mulai tidak bersimpati terhadap demo tersebut karena hanya membuat kemacetan dan kerusuhan.

Lagi-lagi mahasiswa akan berunjuk rasa dengan alasan menolak UU Cipta Kerja. Masyarakat tentu menentangnya dengan keras, karena mereka selalu nekat berdemo saat pandemi. Saat ada unjuk rasa, selain membuat kemacetan juga mengganggu kenyamanan masyarakat.

Beberapa waktu lalu, unjuk rasa mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) di Jalan AP Pettarani, Kota Makassar berujung bentrok. Mahasiswa yang demo guna menolak Undang-Undang Cipta Kerja itu menutup akses jalan hingga terjadi kemacetan yang sangat panjang.

Bentrokan akhirnya terjadi antara pendemo dengan pengguna jalan yang jengah karena mahasiswa tak kunjung bubar hinga malam hari. Melihat hal tersebut aparat kepolisian akhirnya mengambil tindakan tegas dengan membubarkan paksa para demonstran.

Kabag Ops Polrestabes Makassar, AKBP Darminto,menyatakan bahwa satu orang demonstran diamankan oleh pihak kepolisian. Demonstran tersebut diduga menjadi provokator yang menyebabkan kericuhan antara para demonstran dengan pengguna jalan. Hingga pukul 22.30 WITA, sejumlah aparat kepolisian masih berjaga di depan kampus UNM. Arus lalu lintas pun berangsur lancar setelah para demonstran dibubarkan paksa pihak kepolisian.

Masyarakat mendukung tindakan tegas aparat karena para pendemo sangat merugikan. Selain membuat kemacetan, aksi unjuk rasa juga merugikan karena membuat kericuhan. Saat terjadi kekacauan maka situasi akan panas dan para pendemo berpotensi merusak barang-barang dan membakar ban bekas, dan membahayakan banyak orang.

Aksi unjuk rasa ini malah dicibir dan tak mendapat simpati dari masyarakat. Daripada berdemo sambil berdesakan dan berkeringat, bukankah lebih baik mengutus beberapa perwakilan mahasiswa untuk beraudensi dengan pejabat yang berwenang. Dengan komunikasi yang damai, bisa dijelaskan apa saja penyebab disetujuinya RUU Cipta Kerja.

Seharusnya mahasiswa bisa meniru perwakilan dari beberapa serikat buruh yang mengadakan pertemuan dengan Menko Polhukam Mahfud MD. Buruh diminta pendapat mengenai RUU ini dan Mahfud menjelaskan apa saja poin penting dari aturan baru tersebut. Hal ini dilakukan untuk mencegah kesalahpahaman yang berujung pada aksi demo besar-besaran.

UU Cipta Kerja yang menghapus pasal tentang pembatasan kontrak kerja bukan berarti mereka hanya berstatus pegawai kontrak seumur hidup. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah. Menurutnya, sebuah perusahaan jika terus mengontrak pegawai, akan mengeluarkan banyak biaya. Pegawai kontrak yang kinerjanya bagus akan diangkat jadi pegawai tetap.

Penghapusan UMK juga bukan berarti buruh dibayar dengan murah. Melainkan diganti dengan upah minimum provinsi yang nantinya diatur nominalnya oleh Gubernur. Pejabat tersebut dinilai lebih memahami kebutuhan masyarakatnya dan bisa menimbang berapa gaji yang layak bagi seorang pegawai. Jangan buru-buru marah dan mengadakan aksi demo.

Masyarakat menolak demo mahasiswa yang anarkis. Menurut mereka, daripada berunjuk rasa, lebih baik melakukan komunikasi baik-baik. Jika hanya berdemo, malah diacuhkan.

Demo buruh juga tidak mendapat perhatian dari masyarakat karena dilakukan di jalan yang strategis, sehingga malah membuat kemacetan yang mengular. Alih-alih simpati, masyarakat malah mengeluh karena tidak bisa memiliki mobilitas yang cepat, akibat terhalang para pendemo. Mereka jadi terjebak macet dan akhirnya pasrah karena ternyata ada unjuk rasa.

Mahasiswa seharusnya ingat bahwa waktu adalah uang (sangat berharga). Jika satu orang terjebak macet selama dua jam saja, berapa yang terbuang gara-gara demo? Ia bisa berpotensi dimarahi bos di kantornya, padahal bukan salahnya untuk terjebak macet di saat demo. Anak sekolah juga akan terlambat masuk sekolah. Semua gara-gara pendemo.

Selain itu, demo buruh cenderung tidak membawa solusi apa-apa. Mereka hanya berkutat pada masalah, yakni kenaikan gaji yang dirasa kurang. Mereka akhirnya memaki-maki pemerintah, padahal selama ini pemerintahlah yang sudah berbaik hati untuk memberi bantuan sosial dan bantuan lain saat pandemi. Rasanya air susu dibalas dengan air tuba.

Seharusnya jika ada masalah, maka yang dipentingkan adalah solusinya, bukannya memperpanjang permasalahan. Sarkasme yang ada di dalam demo juga membuat masyarakat makin membenci unjuk rasa Mereka sudah lelah mendengar ucapan kasar dari para pendemo. Jangan terbakar emosi tetapi utamakan logika. Sarkasme yang berujung ketidakmampuan untuk mengontrolnya, bisa memicu kericuhan (anarkis) dan membuat suasana jadi panas karena ada tawuran.

Jika ada aksi anarkis maka masyarakat yang paling dirugikan. Pertama, fasilitas umum berpotensi dirusak oleh para pendemo, sehingga tidak bisa digunakan. Kedua, saat ada kerusuhan dikhawatirkan ada penjarahan, sehingga rakyat kecil menangis. Ketiga, keselamatan nyawa masyarakat juga terancam.

Demo UU Cipta Kerja mengganggu kenyamanan masyarakat. Oleh karena itu hentikan saja rencana demo atau perpanjangannya. Tidak ada gunanya sama sekali, karena tak dapat simpati dari masyarakat. Masyarakat pun diharapkan dapat menyalurkan aspirasinya melalui kanal hukum yang telah tersedia.

)* Penulis adalah kontributor Persada Institute

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button

Adblock Detected

Kami juga tidak suka iklan, kami hanya menampilkan iklan yang tidak menggangu. Terimakasih