Tak Ada Dasar Hukum Bagi Aceh Untuk Menggelar Referendum
Oleh : Ismail )*
Mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Muzakir Manaf, yang saat ini menjabat sebagai ketua umum Komite Peralihan Aceh (KPA) dan sekaligus ketua umum Partai Aceh, sempat mewacanakan untuk menggelar referendum di Aceh, dengan pilihan Aceh akan tetap menjadi bagian dari Indonesia atau Aceh akan menjadi negara baru seperti kasus Timor Timur yang kini menjadi negara Timor Leste.
Gagasan tersebut muncul ke permukaan publik setelah hasil penghitungan suara KPU menunjukkan bahwa paslon Prabowo – Sandiaga kalah secara nasional namun menang di Aceh, dimana Paslon nomor 02 tersebut berhasil menang telak dengan 81 % suara.
Padahal Menkopolhukam Wiranto telah mengatakan bahwa semua peraturan yang mengatur tentang referendum sudah dicabut oleh pemerintah, misalnya Tap MPR nomor 8 tahun 1988 atau Tap MPR nomor 4 tahun 1993 tentang referendum.
“Jadi ruang untuk referendum dalam hukum positif di Indonesia sudah tidak ada. Jadi nggak relevan lagi, apalagi kalau kita hadapkan kepada international court yang mengatur tentang masalah ini, juga nggak relevan,” tambahnya.
Pada kesempatan sebelumnya, Marzuki AR yang merupakan mantan kombatan GAM sempat menjelaskan, mengapa wacana terkait referendum diangkat kembali.
Salah satu alasannya, “Kita tahu bahwa Indonesia, beberapa saat lagi akan dijajah oleh asing. Itu yang kita khawatirkan. Karena itu, Aceh lebih baik mengikuti Timor Timur. Kenapa Aceh tidak.” Jelas Muzakir.
Ketua DPR Bambang Soesatyo juga menolak dengan tegas wacana referendum yang dimunculkan oleh Muzakir Manaf.
Pihaknya menuturkah bahwa penolakan secara tagas tersebut, mengingat bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan yang berdaulat dan NKRI harga mati.
Di sisi lain, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, menilai bahwa wacana referendum di Aceh yang dilontarkan Muzakir Manaf karena dilatari emosi yang bersangkutan.
“Isu itu bukan hal yang fundamental. Itu hanya emosi saja. Emosi karena tidak menang,” tutur Moeldoko.
Pihaknya pun menduga bahwa gagasan referendum itu digaungkan karena partai yang dipimpinnya, Partai Aceh, gagal meraih suara optimal di Aceh seperti yang dikehendaki.
Moeldoko juga menilai bahwa wacana yang dinyatakan oleh Muzakir itu hanyalah sebatas wacana akademik, sehingga tidak perlu ditanggapi secara berlebihan.
Yang menjadi masalah adalah, mengapa agenda referendum digulirkan saat ini, setelah 14 tahun yang lalu kesepakatan damai telah ditandatangani dan sudah ada pula Partai Aceh yang dirintis mantan kombatan GAM.
Namun tidak semua pengurus internal Partai Aceh dan kalangan eks kombatan GAM setuju dengan wacana referendum yang disuarakan oleh mantan panglimanya, Muzakir Manaf.
Misalnya Kamarudin Abubakar yang menjabat sebagai Sekjen Partai Aceh, dirinya menyatakan bahwa wacana referendum tidak perlu diteruskan meskipun sepakat bahwa poin – poin kesepakatan mengakhiri konflik yang tercantum dalam MoU perlu diselesaikan.
Dirinya juga mengingatkan bahwa salah satu poin yang tertulis pada kesepakatan perdamaian Helsinki adalah, bahwa Aceh berhak memiliki bendera. Namun lambang bendera yang diajukan selama ini tidak disetujui oleh Pemerintah pusat karena dianggap mirip dengan bendera GAM, eks kelompok separatis yang sudah berdamai melalui MoU Helsinki.
Untuk meminimalisir permasalahan yang lebih besar, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan memberikan arahan kepada pemerintah provinsi Aceh dalam menyikapi munculnya wacana referendum Aceh. Kemendagri berharap agar wacana tersebut tidak dibesar – besarkan.
“Itu (referendum) enggak usah dibesar – besarkan, sudah tidak ada apa – apa kok. Pak Menkopolhukan sudah tegas terkait isu tersebut,” tuturnya.
Atas wacana terkait referendum ini, masyarakat tentu diminta untuk tidak terpengaruh dengan isu dan wacana terkait referendum yang muncul di Aceh. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto memastikan bahwa referendum tidak akan terjadi di Indonesia.
Masyarakat tentu diharapkan agar tidak terjebak dalam hoaks terkait dengan wacana referendum Aceh. Wiranto juga sempat menuturkan bahwa publik sudah memahami bahwa referendum tidak lagi berlaku dalam sistem pengambilan keputusan di Indonesia. Hal ini terlihat dari jumlah pemberitaan dan pembicaraan soal referendum di media sosial yang angkanya hanya sedikit.
Ia juga menghimbau kepada TNI untuk mengantisipasi perkembangan isu tentang referendum Aceh agar dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik