Tak Perlu Demo Gugatan UU Cipta Kerja Dapat Melalui MK
Oleh : Putu Prawira )*
Demonstrasi sejumlah elemen masyarakat menolak UU Cipta Kerja masih terjadi di beberapa daerah. Tidak jarang, aksi demonstrasi tersebut justru berujung anarkis dan merusak banyak fasilitas umum hingga menimbulkan korban jiwa. Masyarakat pun diimbau untuk dapat menggugat UU Cipta Kerja melalui Mahkamah Konstitusi sebagai jalan yang lebih bermartabat.
Presiden RI Joko Widodo mengakui bahwa pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang pada 5 Oktober 2020 lalu memang tidak memuaskan semua pihak. Dirinya juga meminta kepada mereka yang menolak isi UU Cipta Kerja untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam kesempatan konferensi pers di Istana Bogor, Jokowi menuturkan, jika masih ada ketidakpuasan terhadap undang-undang Cipta Kerja, silakan mengajukan uji materi atau judicial review melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Mantan Walikota Surakarta tersebut meyakini bahwa undang-undang cipta kerja merupakan solusi Indonesia dalam masalah kebutuhan penyerapan tenaga kerja.
Sebelumnya, Juru Bicara MK Fajar Laksoni mengatakan sudah ada dua yang mengajukan gugatan pada tanggal 12 Oktober 2020 dan 13 Oktober 2020.
Gugatan tersebut diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa. Permohonan diwakili Ketua Umum Federasi Deni Sunarya dan Sekretaris Umum Muhammad Hafidz. Pasal yang diujikan yaitu pasal 81 angka 15, 19, 25, 28 dan 44. Gugatan juga diajukan seorang pekerja kontrak bernama Dewa Putu Reza. Yakni pasal 59; pasal 156 ayat (1), (2), (3); Pasal 79 Ayat (2) b; Pasal 78 ayat (1) b.
Pasal-pasal tersebut terkait dengan dihapusnya batas waktu perjanjian kerja waktu tertentu, batas minimal pemberian pesangon dan uang penghargaan, serta istirahat mingguan selama dua hari untuk lima hari kerja.
Gugatan tersebut nantinya akan diproses dengan uji materi atau judicial review, dimana hal ini merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan.
Dalam praktiknya, judicial review undang-undang terhadap undang-undang dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara itu, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).
Sebelumnya, sejumlah kelompok masyarakat sipil juga telah mengajukan uji materi ke MK atas undang-undang cipta kerja yang baru saja disahkan oleh DPR.
Judicial review dinilai sebagai upaya konstitusional yang paling tepat, setelah pihak istana memastikan tidak akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu.
Meskipun sebelumnya menguat desakan agar Presiden Joko Widodo menerbitkan perppu tersebut. Bahkan, seiring dengan desakan tersebut, sejumlah aksi unjuk rasa digelar di berbagai daerah untuk menyikapi pengesahan uu tersebut.
MK tentu saja diharapkan dapat menjadi lembaga yang bersifat netral ketika menangani permohonan uji materi kelak.
Dukungan atas rencana judicial review juga diberikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Menurut Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj, pengajuan judicial review merupakan langkah yang terhormat dan tepat dibandingkan dengan melakukan mobililasi masa untuk turun ke jalan.
Terlebih pada saat ini, Indonesia masih dilanda pandemi Covid-19, sehingga segala macam aksi kerumunan haruslah dihindarkan.
Hal ini juga senada dengan penuturan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti yang berpandangan bahwa judicial review adalah sebuah langkah yang tepat untuk dilakukan. Karena aksi demo justru tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan akan menimbulkan masalah baru.
Pada kesempatan berbeda, Menteri Koordinator bidang kemaritiman dan investasi Luhut Binsar Pandjaitan mempersilakan pihak-pihak yang merasa keberatan dengan isi UU Cipta Kerja mengajukan judicial review ke MK.
Dirinya menegaskan, pemerintah tidak akan mencegah pihak yang kontra terhadap omnibus law untuk mengajukan permohonan uji materi tersebut. Sebab, cara tersebut dipandang lebih baik dibandingkan dengan pengerahan massa dan bertindak anarki.
Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyarankan agar pihak yang tidak sepakat dengan UU Cipta Kerja yang akhirnya pada aksi unjukrasa berujung ricuh. Emil menyebut bahwa demonstran tidak perlu terburu-buru menolak bahkan mendemo UU Cipta Kerja yang baru disahkan DPR RI.
Dirinya juga mengajak kepada semua demonstran untuk bersikap kritis dan memberi masukan dalam melakukan aspirasi di jalanan. Sehingga aspirasi yang disampaikan tidak diwarnai dengan tindakan anarkis.
MK sebagai lembaga konstitusi yang netral tentu tidak akan mengambil keputusan secara independen tanpa intervensi dari siapapun. Hal ini tentu menjadi salah satu alasan penting agar pihak yang menolak keberadaan UU Cipta Kerja dapat mengajukan hak uji materi UU ke MK sebagai langkan konstitusional.
)* Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini